“Dakwah” Literasi Masih Senyap

                                                                                      Dokumen Pribadi
“Dakwah” Literasi Masih Senyap
Oleh
Mustajib

JUDUL di atas terasa sangat pas untuk menggambarkan aktivitas saya, sejauh ini, dalam “mendakwahkan” literasi. Mendakwahkan yang dimaksud adalah menyebarluaskan benih-benih literasi dan mengajak orang untuk aktif berliterasi. Berliterasi dalam dalam konteks tulisan ini terbatas pada pemaknaan kegiatan menulis. “Masih senyap” mengandung arti masih jauh dari makna kata “intensif” dan/atau “waoo, gesitnya!”

Benih-benih literasi pada diri saya sesungguhnya sudah mulai muncul saat saya bersekolah di jenjang sekolah menengah atas (SMA) sekitar paruh ketiga tahun 1980-an. Namun ikhtiar untuk mengajak orang berliterasi belum terlaksana. Penyebab utamanya adalah saya belum banyak menghasilkan tulisan. Sewaktu di SMA, saya hanya menghasilkan satu tulisan esai. Itu pun hasil kerja keroyokan bersama salah seorang teman sekelas di kelas 1 SMA. Tulisan itu muncul karena ada “instruksi” untuk mengikuti lomba tentang per-bank-kan yang diselenggarakah oleh salah satu bank “plat merah”(pemerintah) di kota kabupaten saya, Kota Praya, Kabupaten Lombok Tengah, provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

“Jiwa” literasi kian tumbuh berkembang semasa saya kuliah di penghujung tahun 1980. Saya mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris. Saat kuliah ini, saya mendapat dosen pengampu “English Literature” (sastra Inggris) yang memang pegiat literasi dan sekaligus pelaku sastra dalam arti sesungguhnya. Beliau – almarhum Prof. Soenaryono Basuki Ks.— adalah seorang penulis, kolumnis, penyair, cerpenis, dan novelis. Juga eseis. Pada saat itu, mengajak orang untuk menulis pun belum (berani) saya lakukan mengingat karya-karya masih sangat minim. Produk literasi berupa tulisan hanya mampu saya hasilkan antara satu dan dua keping saja. Itu pun dimuat di majalah kampus, yang tidak “sekeren” dan menggiurkan dibandingkan majalah komersial yang berbayar.

Mengajak orang lain untuk menulis sepertinya baru “berani” (bisa) saya lakukan di sekitaran tahun 1997 dan 1998, sebelum Indonesia dilanda krisis moneter. Saat itu saya sudah mampu melahirkan paling tidak satu tulisan “opini” setiap bulan dan dimuat oleh salah satu harian nasional yang terbit di daerah (Bali). Bentuk ajakan itu masih sangat terbatas dalam lingkungan internal. Ada dua bentuk lingkungan internal yang dimaksud.

Pertama adalah komunitas diskusi. Dalam komunitas ini, kami saling mengajak dan saling menyemangati untuk (terus) menulis. Bentuk kongkritnya, jika ada suatu isu yang menjadi sorotan publik (burning issue), kami mendiskusikan bersama-sama. Setelah selesai berdiskusi, kami pulang ke tempat tinggal masing-masing. Lalu, di tempat (tinggal) masing-masing, kami menuangkan hasil diskusi tersebut dalam bentuk tulisan opini dan tentunya meraciknya sesuai dengan wawasan, keterampilan dan perspektif masing-masing. Yang tulisannya dimuat di harian umum berarti ia yang keluar sebagai “pemenang”.

Komunitas internal kedua adalah rekan-rekan guru, itu pun terbatas pada mereka yang menunjukkan  minat menulis. Karena tulisan saya sudah dimuat beberapa kali dan karena tahu guru(-guru) tertentu memiliki minat menulis, maka saya mendakwahkan berliterasi dengan mengatakan “ayo sama-sama menulis” saat rekan guru yang dimaksud membicarakan atau menyinggung tulisan saya yang baru saja atau yang dimuat sebelumnya.

Seingat saya, saya mulai mendakwahkan literasi kepada siswa dalam pengertian mengajak siswa untuk menulis di sekitar tahun 2000 dan 2021. Itu terjadi karena tulisan-tulisan saya yang berbentuk prosa liris sudah mulai bisa masuk di rubrik “Sastra dan Budaya” di Bali Post Minggu (BPM). Saya berani mengajak karena berasumsi bahwa prosa liris bisa “dijangkau” oleh siswa. Dan secara kebetulan, saat itu amat sering ditunggu – diberikan jadwal minggu tertentu -- tulisan-tulisan guru dan siswa-siswa binaannya di bawah label “Menunggu Tulisan-Tulisan Siswa dari Bali Utara”.

Ajakan kepada sesama rekan guru dan para siswa untuk menulis secara agak masif itu baru saya bisa laksanakan di penghujung tahun 2008, tepatnya pada Desember 2008, setelah saya pulang kampung ke Lombok. Saat itu saya dimandati untuk menggawangi (mengkordinatori) penerbitan perdana tabloid “Ekspresi Suluh Smanti”, yang di-launching untuk menyemarakkan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) untuk program “Schulen : Partner der Zukunft (Sekolah : Mitra menju Masa Depan)” antara Pemerintah Jerman dengan SMAN 3 (Smanti) Mataram.  

Saya mengatakan “masif’ karena ajakan itu betul-betul intens saya lakukan agar kami bisa memenuhi halaman-halaman yang tersedia dengan beragam tulisan. Saya tidak ingat persis, berapa halaman yang harus kami isi dengan aneka tulisan. Yang pasti, jumlah halaman untuk penerbitan sebuah tabloid antara 8 sampai dengan 16 halaman. Katakanlah dengan jumlah minimal, saya bersama tim harus mem-feeding 8 halaman yang mengganga minta jatah untuk ‘disuapi” (diisi) dengan beragam genre tulisan, dan sedapat mungkin dikaitkan dengan fokus utama tentang Program “PASCH” Schulen : Partner der Zukunft).

Ajakan relatif seintens itu masih sempat berlangsung beberapa lamanya. Setelah penerbitan perdana dan terakir dari Tabloid “Ekspresi Suluh Smanti”, saya – selaku wakil kepala sekolah bidang Kehumasan -- dan rekan guru BK – Kristian Pake Seko – menerbitkan buletin. Saya tidak ingat nama buletin itu. Yang saya ingat betul adalah, saya berhasil membujuk salah seorang siswa untuk ikut mengisi buletin tersebut. Siswa tersebut kini menjadi wartawan “senior” di harian umum “Suara NTB” dan sekaligus sebagai penyair. Mantan siswa yang dimaksud adalah Rony Fernandez.

Sangat disayangkan, mungkin, ghiroh mendakwahkan literasi menulis itu memudar semenjak saya diamanahi sebagai kepala sekolah selama kurang lebih 6 tahun di dua sekolah menengah pertama, yakni di SMPN 17 Mataram (1,5 tahun) dan di SMPN 12 Mataram (4,5 tahun). “Disayangkan”, karena dengan posisi sebagai kepala sekolah semestinya saya lebih bersemangat untuk mengajak guru, pegawai dan para siswa untuk menulis. Tidak ada karya siswa mapun guru pegawai yang terlahir. Secara pribadi, entahlah, saya pun cukup “mandul” melahirkan tulisan. Karena “kemandulan” ini pula yang membuat agak “risih” mengajak orang lain menulis. Biasanya seseorang tidak terlalu “PD” (percaya diri) mengajak orang lain untuk menulis kalau dia sendiri tidak bisa menghasilkan tulisan.

Dalam konteks “mengerem diri untuk tidak mendakwahkan kegiatan menulis di atas”, saya teringat kata-kata Menkeu Sri Mulyani dalam sebuah postingan “Reels” di salah satu medsos, dengan kata-kata, “Jangan sering ngajarin (“ngajak”) orang lain sebelum anda mengajari (‘mengajak”) diri sendiri. Praktekkan dulu, baru anda bisa … mengajar dan mengajari (“mengajak”) orang lain.”

Namun, ketika diamanahi sebagai kepala sekolah di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), Riyadh, Arab Saudi, semangat untuk mendakwahkan kegiatan menulis itu coba saya pompa lagi, semaksimal yang bisa saya lakukan. Saya tidak selalu terjun langsung dengan mengajak siswa per kepala. Semangat itu saya ‘bisikkan” lewat pembina ekstrakurikuler Lietarasi, yang juga senang menulis : Ibu Hernawati. Bisikan itu tidak hanya menyasar para siswa, melainkan juga rekan-rekan guru dan pegawai.

Alhamdulillah, buah dari bisikan dan semangat pantang menyerah dari pembina literasi yang sudah menghasilkan lebih dari 3 buku antologi itu, sampai pertengahan 2024 ini, kami sudah menerbitkan 3 buku. Di tahun 2022 lalu, terbit buku World of Wonders karya bersama para siswa kelas 8 jenjang sekolah menengah pertama (SMP). 

Di tahun 2023, menyusul 2 judul buku. Kedua buku yang dimaksud adalah "Rmadhan Diary : Cerita dan Inspirasi dari Arab Saudi dan Labyrinth : Lost in Reverie. Buku yang disebut pertama merupakan buku antologi berisi tulisan-tulisan guru dan pegawai Sekolah Indonesia Riaydh. Sementara buku yang disebut kedua merupakan buku solo, karya Janeeta Syajda Koswara, seorang siswa kelas IX SMP. Salah satu keistimewaan buku kedua ini adalah berbahasa Inggris. Dan karena buku solo maka buku ini pun berhak mendapatkan “ISBN” (International Standard Book Number).

Ada cerita menarik, setidaknya bagi saya, di balik terpublikasinya buku berjudul “Labyrinth : Lost in Reverie” tersebut. Jauh sebelum terbit buku “World of Wonders” dimana salah seorang penulisnya adalah Janeeta Syajda Koswara sendiri, saya mendengar cerita dari salah seorang kolega kami, bahwa ada siswa yang sangat mahir (terampil) menulis, dan dalam bahasa Inggris. Siswa tersebut bernama Janeeta Syajda Koswara . Sayangnya, Janeeta – demikian sapaan akrabnya, tidak mau tulisan-tulisannya dibaca secara publik.

Setelah buku World of Wonders terbit, dengan maksud supaya segera ada buku yang menyusul terbit, saya menghubungi Ade Koswara, bapak dari Janeeta, yang kebetulan juga merupakan salah seorang anggota pengurus komite Sekolah Indonesia Riyadh, yang dengannya saya sering berkomunikasi. Saya meminta Pak Ade – demikian saya menyapanya, untuk bersama-sama memotivasi Janeeta untuk memublikasi tulisan-tulisannya menjadi buku tunggal. Pak Ade menyatakan akan berikhtiar. Melalui Pak Ade, saya dapat informasi, jangkan orang lain, orangtuanya sendiri tidak “diizinkan” oleh Janeeta untuk membaca tulisan-tulisannya.

Penerbitan World of Wonders dan Labyrith : Lost in Reverie sepertinya berdampak positif pada diri Janeeta. Ia menjadi salah satu penulis dari 3 buku karya siswa yang akan segera terbit di tahun 2024 ini. Dari Pak Ade sendiri, saat menemui saya untuk meminta cuti ke Indonesia bagi putra-putrinya pada pertengahan Mei 2024 lalu, saya mendapat informasi bahwa kini Janeeta semakin ‘haus” membaca dan “keranjingan” menulis. Masih menurut Pak Ade, kini Janeeta merasa pusing kalau tidak menulis setiap hari. Sepertinya “penyakit” seperti itulah yang dicita-citakan dari kegiatan ‘dakwah’ literasi menulis.

Selain upaya-upaya memublikasikan tulisan-tulisan siswa, upaya lain yang saya lakukan untuk mendakwahkan literasi menulis kepada para siswa adalah dengan mengajak para guru, khususnya pembina literasi dan panitia suatu kegiatan, untuk selalu memasukkan kegiatan menulis pada hampir setiap kegiatan berskala besar dan penting. Misalnya, saat memperingati Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2023 lalu, para siswa tidak hanya diminta berpartisipasi dalam kegiatan upacara bendera dan lomba-lomba, melainkan mereka juga diminta untuk menuangkan “momentum” dengan segala nuansa yang melingkupinya itu ke dalam tulisan. Dari kegitana-kegiatan menulis di seputaran nuansa HGN itu maka akan segera terpublikasi buku berjudul “My Teacher, My Hero” yang kini sudah memasuki tahapan final editing.

Kalau selama ini saya terus berjuang untuk mendakwahkan literasi menulis di kalangan anak-didik alias para siswa, walaupun belum terlalu masih alias masih ‘senyap-merayap pelan”, bagaimana ikhtiar saya untuk mendakwahkan literasi pada anak-anak biologis saya sendiri? Sudah saya melakukannya walau masih terbilang “senyap”, jauh dari yang semestinya. Namun insya Allah sudah ada tanda-tanda positif impact (dampak) dari anjuran saya kepada mereka untuk menulis.

Dari 4 orang anak-anak saya, yang paling besar (anak sulung, Ika Fitria Rahmawati), beberapa hari lalu menyampaikan bahwa, selama kurang lebih sebulan tinggal di Lombok, setelah final exit dari Riyadh, Arab Saudi, sudah menghasilkan 40 halaman draf tulisan. Yang nomor 3, yang pernah mewakili sekolah untuk lomba penulisan cerpen dalam ajang “Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), sudah memantapkan diri akan mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnnalistik setelah kuliah nanti. Dan si bungsu (Muhammad Sukri Rizky Ramadhan), yang pernah mendapat nilai 100 dalam ulangan mengarang imajinatif-kreatif, mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai siswa terbaik dalam bidang “bahasa dan sastra” saat wisuda pelepasan siswa-siswi kelas VI sekolah dasar (SD) SIR pada 30 Mei 2024 yang baru lalu.

“Cerita” mendakwahkan literasi menulis ini saya persembahkan sebagai salah satu bagian dari selebrasi Hari Buku Nasional (BHN) yang jatuh pada tanggal 17 Mei. Semoga di HBN tahun depan, saya bisa bercerita lebih banyak lagi tentang ikhtiar-ikhtiar untuk mendakwahkan lierasi menulis secara masif dan lebih intens. Tidak sesenyap-merayap seperti selama ini. Semoga bisa terwujud “selepas senyap, terbitlah dawah literasi yang terang-berbinar: masif, cetar dan membahana!”. Semoga.

 

Riyadh, (Revisi) 1 Juni 2024

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

5 Komentar

  1. MAREN= MANTAB DAN KEREN bah!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur sembah nuwun atas anjangsana san apresiasinya, Abah Inin. Salam sehat dan sukses selalu. Aamiin

      Hapus
  2. Wah luar biasa pengalaman Mamiq Mustajib.....semoga dakwah literasinya semakin moncer cemerlang aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas anjang sananya, Miq Har. Salam sehat dan sukses selalu. Aamiin

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
Lebih baru Lebih lama