Nilai Filosofis dari Pleci dan Geopeliaku

 




                                                    Nilai- Filosofis dari Pleci dan Geopeliaku

Oleh

Mustajib

Hadirnya pleci (burung kecial) dan geopelia (burung perkutut) dalam kehidupan saya berawal dari suatu kebetulan. Di suatu pagi, entah hari apa, bulan apa persisnya, yang jelas pada tahun 2025 ini, saya menemukan seekor burung yang (saya anggap) jinak sekali di depan lobi sekolah tempat saya mengajar. Tepat di depan saya dan tidak mau terbang sekalipun hampir saya injak. Sontak terpikir, ini mungkin rahmat dari Yang Maha Kuasa untuk saya.

Burung itu saya tangkap. Saya kandangkan (taruh) di sebuah keranjang sampah platik mini yang saya pinjang dari kolega (staf pertamanan sekolah). Burung dalam sangkarnya itu saya taruh di ruang guru, dekat meja kursi tempat saya duduk beristirahat, ketika saya mengajar. Ketika hendak ke kelas untuk mengajar, saya bertemu kolega staf keamanan sekolah yang secara kebetulan pecinta burung, khususnya burung kecial. Saya ceritakan tentang burung itu.

Setelah selesai mengajar, dari kolega itu saya dapat informasi bahwa burung yang saya tangkap itu namanya “bubut”(dalam Bahasa Sasak, Lombok). Jika dilihat dari bentuk fisiknya, burung itu sekelas burung puyuh. Puyuh adalah jenis burung dalam Superfamili Phasianoidea. Entah masuk famili yang mana sesungguhnya, yang jelas, burung yang saya temukan itu mirip, tapi bukan, puyuh coklat (Coturnix ypsilophora).

Merasa “kasihan” dengan sangkar darurat yang saya pakai, kolega pecinta burung itu meminjamkan saya salah satu sangkarnya. Hari itu, sepulang dari tugas sekolah, saya coba buat sangkar seadanya berdasarkan pengalaman saat (pernah) memelihara beberapa ekor burung puyuh Superfamili Phasianoidea. Hasilnya tidak bagus, kurang nyaman.

Untuk kenyamanan burung yang saya tangkap itu, dan karena merasa tidak nyaman di hati untuk meminjam sangkar (kong) dari kolega itu, akhirnya saya minta beli satu buah dari beberapa buah kong yang sedang tidak terpakai. Alhamdulillah, dengan harga sesama kolega, saya dikasih kong second seharga 200-an ribu rupiah. Saya senang.

Rasa senang tidak berlangsung lama. Burung, tepatnya anak burung, bubut itu mati. Entah apa penyebabnya sehingga usianya sependek itu. Mungkin karena peralihan lingkungan hidup dari alam bebas ke alam terbatas sebatas sangkar. Mungkin karena makanan yang semula butiran-butiran pada lalu berubah menjadi butiran-butiran pakan burung (yang bisa jadi kurang pas). Atau, bisa jadi karena stress diganggu atau dilalulalangi tikus, kucing atau kami sekeluarga. Entahlah!

Karena sudah punya sangkar, tapi burungnya sudah tidak ada, timbullah minat untuk memiliki seekor burung.  Minat lebih condong memiliki pleci, yang nama kerennya ‘zosterops. Pencarian dimulai dengan modus tanya-tanya ke kolega pecinta burung. Membeli salah satu dari zosterops, rasanya agak sulit karena pleci-pleceinya itu “sudah jadi” (sering menang dalam lomba adu suara antarpleci). Harga di atas satu jutaan. Bahkan ada diantara plecinya yang ditawar tiga jutaan, dan tidak akan dijual sekalipun dibeli empat atau lima juta. Cek---cek---cekkkk.

Saya tanya-tanya tempat mencari pleci yang ‘belum  jadi’, yang masih liar. Saya dapat infonya, tapi tidak dapat barangnya. Mungkin “kasihan” kepada saya, sang kolega pecinta burung itu akhirnya berkenan menjual salah satu koleksi plecinya, yang kebetulan sedang “nguraq” (pergantian bulu, bahasa Sasak) kepada saya dengan ‘harga sahabat’ (di atas) Rp. 250.000.

Agar pleci yang baru saya miliki ini tidak kesepian, saya carikan temannya. Melalui Komunitas Pecinta Kecial Kuning (di) Lombok di laman facebook, saya dapat membeli 2 ekor pleci plus 1 buah kong seharga Rp. 180.000. Saya harus merogoh kantong lagi untuk membeli 1 kong second seharga Rp. 125.000. Akhirnya, saya memliki 3 ekor pleci. Agar lebih ramai dan lebih variatif dengan suara burung di rumah, saya tambahkan satu ekor burung perkutut.

Selain sudah terlanjur memiliki sangkar dan ingin lebih meramaikan suasana rumah dengan suara-suara burung, ternyata, ke-gacor-an merupakan hal kedua yang mendorong saya ingin memiliki atau memelihara burung pleci dan perkutut tersebut. “Gacor’ merujuk pada burung yang rajin berkicau dengan suara yang merdu, nyaring, bagus, keren, luar biasa, atau berkinerja tinggi. Ketika membeli pleci yang sedang nguraq, sisa-sisa kegacoran masih ada. Beberapa hari kemudian, kegacorannya  hilang, entahlah! Mungkin karena kurang perawatan, lingkungan baru, atau stress karena pernah diganggu atau dilewati berbagai makluk yang tidak berkenan di hatinya. Kedua pleci yang saya beli belakangan, seperti diakui pemiliknya, sudah tidak gacor lagi karena kurang perawatan.

Kedua pemilik awal dari tiga pleci saya menyakini bahwa pleci yang sudah pernah gacor, lalu hilang kegacorannya, akan Kembali gacor setelah dipelara sekian lama lagi dengan perawatan yang baik. Saya sudah memelihara ketiga pleci lebih dari sebulan. Tapi kegacorannya belum pulih padahal saya sudah memilihara dengan cukup baik--- menurut perasaan saya!!

Setiap hari sangkar ketiga pleci saya bersihkan dari kotoran-kotoran pleci. Tempat minum burung yang terpasang di setiap kong saya bersihkan juga supaya tidak berlumut. Pakan pleci saya belikan yang standar, yang labelnya bertuliskan (kurang lebih) ‘menjaga kesehatan dan kualitas suara burung’. Selain memberikan pakan racikan, saya juga memberikan pakan lain berupa “puntik sabe” (pisang keprok). Sesekali puntiq sabe saya ganti dengan jeruk, tomat, sabo dan bahkan buah naga. Menurut kata seorang pecinta pleci, variasi makanan bermanfaat “agar pleci tambah sehat karena mengonsumsi beragam vitamin”.

Kehilangan kegacoran tidak menghilangkan daya tarik pleci-pleci tersebut – bagi saya pribadi. Suara “ciat-ciatnya’ (serupa suara anak ayam), secara sendiri-sendiri, dan apalagi secara berjamaah (bersamaan) tetap membawa pesona tersendiri. Pesona suara tersebut menambah suasana kegacoran burung perkutut.

Burung perkutut (burung dengan genus Geopelia dari keluarga Columbidae) yang saya miliki entah termasuk dalam spesies yang mana : Perkutut Intan (Geopelia cuneata), Perkutut Jawa (Geopleia striata), perkutut papua (Geopelia placida), atau Perkutut Australia (Geopelia humeralis). Yang pasti, ia bukan termasuk Perkutut loreng (Geopelia maugeus) karena bulunya tidak berwarna coklat loreng-loreng dan ia memiliki suara yang khas – lagi-lagi, menurut saya pribadi).

Perkutut yang saya miliki, yang berbulu warna dominan coklat muda dengan lingkaran warna hotam dan putih di belakang leher, sangat rajin berbunyi, intervalnya mungkin  rata-rata dari  7 – 7 menit, saat siang maupun malam hari. Yang khas menurut saya adalah suaranya : pada setiap tarikan kedua atau ketiga saat, suaranya seperti lolongan anjing. Kadang bunyi tersebut mengingatkan pada bunyi burung hantu, sebagaimana dirasakan dan dikatakan oleh anak-anak saya. Ada juga yang menganggapnya seperti suara tangisan, sebagaimana pernah ditanyaan adik ipar saya saat di suatu sore menelpon dari Jombang, Jawa Timur. Ajaibnya, suara-suara dengan persepsi yang beragam itu tidak sampai menimbulkan ketakukan. Justru mendatangkan ‘keasyikan’.

Keasyikan lainnya yang saya nikmati dengan kehadiran burung-burung tersebut, terutama dari ketiga pleci saya adalah tingkah polah dan nilai-nilai ‘filosofis’. Walaupun belum menghadirkan Kembali kegacorannya, ketiganya menghadiekan Gerakan-gerakan yang lincah : naik turun, seolah-olah jungkir balik dari angkringan-angkiran kayu yang dipasang. Setelah jumplitan kesana-kemari, lalu mematuk-matuk buah-buahan yang disuguhkan, lalu menggosok-gosok ujung paruhnya. Terkadang mematuk butiran-butiran pakan, kemudian langsung minum. Dan sejumlah dinamika lainnya.

Saat menikmati “sirkus dinamika yang enerjik itu”, pernah sontak muncul pikiran dalam tempurung otak saya : “walapun hanya diberikan sejumput butiran pakan, sekerat buah-buahan, dan memebrapa CC air minuman biasa, dan dalam sangkar yang serba terbatas itu, ia tetap tampak Bahagia”. Ini berbeda dengan tabiat manusia, walaupun makanannya sudah tidak akan habis tujuh keturunan, air minuman meral kelas terbaik sudah tersedia bergalon-galon, dan sudah memiliki rumah-rumah mewah di mana-mana, mereka masih saja ada yang tampak murung, bersedih dan mager (malas gerak) alias malas bersosialisasi dan berkomunikasi.

Itulah nilai-nilai filosofis, khususnya, dari kehadiran ketiga pleci. Sekali lagi, ini menurut saya pribadi!!!

 

Kuranj Dalang, 19 Juli 2029

 

 

 

 

 

 

 

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama