Peran Sastra dalam Menjaga Imunitas Siswa

                                                                              Dok. Karyakarsa
Peran Sastra dalam Menjaga Imunitas Siswa*
Oleh
Mustajib

 

PERNAH suatu daerah mengeluarkan kebijakan yang seolah-olah lebih mementingkan nilai ujian tinimbang ‘nyawa’ para siswa. Itu terjadi di awal-awal masa pandemi Conona Virus (Covid-19) dulu. Sebagai pendidik, saya bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Namun, sebagai peminat sastra, saya mencoba menyodorkan alternatif cara lainnya untuk menguatkan imunitas siswa menghadapi pandemi yang ‘menghantui’ itu. Sodoran alternatif itu saya wujudkan dalam bentuk tulisan. Inilah tulisan tersebut.

Sebagai bagian dari memori atas fenomea alam tersebut, saya munculkan kembali tulisan ini. Untuk menjaga keuntuhan konteks, latar kronologi dan substansi pemicu masalah dipertahankan. Pandemi memang sudah berlalu (walau tetap ada potensi pemunculannya kembali dalam varian lain, yang bisa jadi tidak atau bahkan sangat berbahaya, sehingga membutuhkan imunitas yang prima, yang diperoleh dari berbagai sumber : aplikasi sains maupun aplikasi sastrawi. Secara konsepsi, alternatif pendekatan sastrawi yang disodorkan tetap relevan, baik selama masa “ada wabah” maupun dalam kondisi normal, terutama jika terkait dengan hajat hidup peserta didik. Selengkapnya adalah sebagai berikut.

Sempat menyembul sebuah perntanyaan usil dalam tempurung “otak kritik sastra” saya, “Benarkan nilai ujian jauh lebih berharga daripada ‘nyawa’ (keselamatan) para siswa”? Pertanyaan ini muncul setelah membaca salah satu berita Lombok Post edisi 29 Januari 2021 halaman 16. Isi berita yang dimaksud adalah demi keselamatan para siswa, per 1 Februari 2021, sekolah-sekolah khususnya di Kota Mataram ditutup kecuali untuk kelas-kelas akhir. Artinya, para siswa kelas VI SD/MI, kelas IX SMP/MTs dan XII SMA/MA tetap masuk meskipun penyebaran virus corona/Covid-19 (saat itu) makin mengkhawatirkan.  Menurut struktur logika berita atau kebijakan (policy) tersebut, nilai ujian akhir termasuk persiapan masuk perguruan tinggi (PT) lebih penting dari keselamatan para siswa kelas-kelas akhir.

Sebagai seorang pendidik, saya tentu tidak boleh menggugat kebijakan (policy) tersebut. Sebagai pendidik yang bertanggung jawab, saya wajib memperlihatkan atau menunjukkan semaksimal mungkin sikap-sikap produk pendidikan yang baik antara lain dengan menghormati dan melaksanakan kebijakan atasan: samiqna wa athaqna (kami dengar dan kami laksanakan). Mendebat, menentang dan apalagi tidak mengindahkan kebijakan atasan jelas-jelas mencerminkan karakter yang buruk. Penentangan seperti itu setali tiga uang dengan sikap siswa yang melawan secara diametrikal kebijakan atau anjuran baik atau positif dari gurunya. Tindakan itu pamali (aib) dalam alam penumbuhkembangan pendidikan karakter.

Namun sebagai seorang peminat sastra dan untuk kepentingan sastra itu sendiri, sah-sah saja rasanya jika saya – palin tidak – bertanya: “Apakah tidak ada cara lain untuk menjamin atau men-support keselamatan para siswa selain dengan menutup sekolah atau menghentikan Pembelajaran Tatap Muka (PTM)?” Jika ada, adakah peran yang bisa dimainkan oleh sastra atau karya-karya sastra untuk menjamin atau memelihara para siswa agar tetap imun atau sehat dalam menghadapi pandemi covid-19, wabah-wabah lain, atau kondisi-kondisi fisik dan kejiwaan yang membayakan? Imun (being immune) mengandung maksud terlindungi dari penyakit dan karenanya mampu menghindarinya (Hornby, 2006 : 77).

Sudah barang tentu banyak cara yang bisa dilakukan untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan daya tahan (imunitas) para siswa untuk terhindar dari covid-19 atau penyakit-penyakit lainnya. Diantaranya melalui penerapan prinsip-prinsip sains (biologi). Dalam konteks covid-19, pemikiran berbasis sains ini menganjurkan kita untuk memakai masker (pelindung hidung dan mulut) untuk menghindari masuknya virus melalui rongga hidung dan/atau mulut. Juga termasuk anjuran perspektif ini adalah mencuci tangan dengan handsanitizer (cairan pembersih tangan seperti sabun dan zat-zat pembersih sejenis). Anjuran ini sejalana dengan ritual keagamaan seperti bersuci (dalam Islam, berwudhu). Yang tidak kalah pentingnya adalah mengonsumsi makana yang higinis (bersih dan terbebas dari penyakit), bergizi (bernutrisi) dan/atau bahkan halal: halalan thayyibah.

Anjuran-anjuran di atas memang penting, akan tetapi tidak menjamin penguatan imunitas secara seratus persen. Syaiful Akhyar, penulis buku Pedoman Operasional Sekolah Perjumpaan, Pembelajaran Karakter Berbasis Intersubyekivitas Di Sekolah (Jilid 1, 2, 3 : 2018), dalam sebuah diskusi informal (29 Januari 2021) mengatakan bahwa mengonsumsi makanan-makanan bergizi, termasuk selalu membersihkan tangan dan memakai masker hanya terkait dengan kesehatan badaniyah atau kesehatan jasmani. Unsur-unsur tersebut tidak terkait dengan kesehatan ruhani atau psikis, jika pun ada kaitannya, hanya sedikit sekali. Di masa covid-19, klaim tersebut terjustifikasi (mendapat pembenaran) faktual dengan anjuran yang pernah viral di masa-masa awal pandemik Covid-19. Bahwa untuk menghindari atau mengurangi resiko terpapar Covid-19, hendaknya seseorang terbebas dari kondisi stress. Di awal-awal kasus Covid-19, ramai diberitakan bahwa kondisi pasien virus corona (Covid-19) semakin parah – lambat pemulihannya – karena stress atau tekanan jiwa.

Bila klaim tersebut benar adanya, menurut hemat penulis, di situlah celah sastra atau karya-karya sastra khususnya yang ber-genre puisi atau sajak berkontribusi merawat atau bahkan meningkatkan imunitas sehingga seseorang – para siswa / pengamal sastra – terhindar dari serangan covid-19 di masa pandemi. Jika demikian, bukankah ini kedengarannya sangat teoritis, konseptual dan tidak aplikatif?

Di negara-negara yang baik kadar literasinya, seperti di Inggris dan Amerika Serikat, secara de facto prnghargaan masyarakat terhadap para sastrawan sangat tinggi. Sastrawan sekaligus kritikus sastra Indonesia, (Alm) Subagio Sastrowardoyo, dalam bukunya Sekilas Soal Sastra dan Budaya (Balai Pustaka, 1992: 5 – 7) mengungkapkan bahwa warga masyarakat Amerika Serikat lebih sering dan lebih cepat mencari pertolongan untuk kesehatan jiwanya. Untuk masksud tersebut orang-orang di negara Uncle Sam (Paman Sam) ini akan segera meminta nasihat ahli atau dokter jiwa di klinik, rumah sakit, atau tempat-tempat praktik spesialis penyakit jiwa lainnya.

Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan terapi penyehatan jiwa pada kelompok-kelompok yang dibentuk di tenagh-tengah masyarakat. Salah satu terapi yang dipakai untuk menormalkan kondisi kejiwaan di kelompok-kelompok masyarakat ini adalah “psychopoetry” di bawah asuhan ahli jiwa. Yang dimaksud fengan “psychopoetry” adalah terapi yang bertujuan mengupayakan penyembuhan dan/atau pemulihan lewat puisi kepada anggota-anggota kelompok yang terganggu kondisi atau kehidupan kejiwaannya.

Lebih lanjut, Subagio Sastrowardoyo – sang pencipta puisi-puisi yang terhimpun dalam Daerah Perbatasan (Balai Pustaka, 1984), menegaskan bahwa kelompok-kelompok tersebut tidak memilih tempat berkumpul yang permanen. Melainkan, tempatnya bisa berpindah-pindah: bisa di kedai kopi, di rumah salah seorang anggota kelompok, atau bahkan di ruang perpustakaan. Yang terpenting bagi mereka dalah mereka dapat berinteraksi antara sesamnya dan menjadi bagian dari perhimpunan yang sifatnya spontan dan rukun. Di tengah-tengah kelompok ini puisi atau sajak menjadi sarana penyembuhan jiwa.

Ditambahkan pula bahwa di dalam kelompok terapi puisi tersebut, yang menjadi bahan perbincangan antaranggota adalah sajak-sajak yang dikarang oleh ahli jiwa (terapis) atau sajak-sajak yang ditulis oleh pengarang-pengarang yang sudah terkenal, atau yang dibuat oleh si penderita penyakit itu sendiri. Dengan sajak-sajak jenis pertama di atas, penderita dapat menyadari bahwa orang lain pun memiliki kesulitan-kesulitan dan harus bergulat untuk mengekspresikan dirinya. Dalam mendengar atau melafalkan sajak-sajak penyair terkenal – puisi-puisi jenis kedua, pasien dapat mengidentifikasikan dirinya dengan keadaan jiwa yang dialami juga oleh penciptanya. Diyakini bahwa kesamaan nasib dapat mengembalikan semangat hidup kepadanya.

Si penderita bahkan mungkin akan berusaha meniru mengungkapkan (mengekspresikan) dirinya seperti penyair besar itu dalam sajak. Kemampuan untuk mengekspresikan dirinya dan menciptakan sesuatu terbukti dapat membangkitkan kepercayaan pada dirinya, dan kesadaran bahwa dirinya punya kemampuan, harga diri dan kehormatan.

Dari ilustrasi di atas terlihat jelas bahwa fungsi reflektif dan pragmatis puisi atau sajak adalah sebagai stimulator. Yaitu, sebagai perangsang timbulnya dan/atau bertumbuhkembangnya keutuhan kesadaran yang tercipta karena adanya pertemuan, interaksi, dan komunikasi yang memungkinkan terjadinya keterkoneksian hati positif antarindividu atau antarsubyek.

Selanjutnya ilustrasi di atas dapat dijadikan “ATM” (Adaptasi, Tiru dan Modifikasi) dalam memanfaatkan puisi-puisi atau sajak-sajak sebagai media untuk menghilangkan rasa bosan, suntuk, atau terbebani (karena pandemik covid-19, misalnya, atau karena himptan-himpitan finansial, fisik dan psikis sejenis lainnya) sehingga terbebas dari rasa stress yang ujung-ujungnya dapat meningkatkan imunitas dan pada akhirnya bermuara pada ketangguhan (sehat lahir batin) melaksanakan tugas-tugas belajar selama masa pandemi covid-19 atau setelahnya.

Terkait dengan aplikasinya di lapangan, model, strategi, atau prosedur-prosedur teknis pelaksanaan pemanfaatan puisi-puisi atau sajak-sajak sebagai penguat imunitas sepenuhnya ada di tangan  (antara lain) para bapak ibu guru pengampu mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jika mereka ‘kewalahan’ (kekeringan ide atau strategi), mereka dapat mendatangkan ahli dari luar sebagai narasumber atau tim ahli. Bukankah di masa pandemik covid-19, dan sesudahnya,  guru dan/atau sekolah diharapkan selalu kreatif-inovatif dalam menyelenggarakan pembelajaran daring (dalam jaringan, jarak jauh, reguler, online) maupun luring (luar jaringan, offline) atau hybris (online plus offline) yang fun : menyenangkan, menghibur, tidak membosankan, tidak membebani secara psikis alian tidak membuat stress?

Sesungguhnya tidak hanya guru-guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra  Indonesia yang dapat memanfaatkan sastra atau karya-karya sastra terutama jenis puisi atau sajak sebagai wahana pemeblajaran yang terbebas dari stress sehingga imunitas para peserta didik meningkat dalam menangkal covid-19 atau penyakit-penyakit lainnya. Dengan paradigma “Sastra Ekologis” (Endraswara (Ed.), 2016) semua guru dapat mempraktikkannya. Semua ide, gagasan, unsur atau anasir sastrawi dapat diungkapkan dan/atau dikaitkan dengan lingkungan alam baik yang bersifat biotik (hidup : makhluk hidup) maupun abiotik (tidak hidup : benda mati).

                                                                                  Dok. Gramedia.com

Dengan pembelajaran berbasis sastra ekologis, seorang guru mata pelajaran Biologi (Ilmu Pengetahuan Alam/IPA, misalnya) dapat memanfaatkan, misalnya, puisi karya Arisandyokty berjudul “Pohon Pisang” berikut ini sebagai salah satu varian kegiatan belajar mengajar (KBM), baik di masa pandemi covid-19 maupun di masa normal. Selengkapnya, puisi “Pohon Pisang” yang dimaksud berbunyi, “Siapa penanamu / Kau nampak enggan di keramaian / Tak berteman siapa pun / Berdiri tegak sigap menyangga / Meski daunmu malas terbuka / Namun hijaumu tetap mendunia / Kau isap asap / Kau makan gemuruhnya / Pohon pisang tahukah kau / Kau sekarang bermain / Kau acting / Itu bukan tempatmu bertumbuh... / Kau dibohongi / Engkau tak lebih dari simbol / Tak lama lagi kau tercabut / Ke ladang sudut, atau / Bak sampah yang menggunung / Pemilikmu bukan tak merindukanmu / buahmu / Lewat tubuhmu ia menaruh harap / Jalan – jalan meminta / Jalan-jalan kembali ramah // (Endraswara (Ed.), 2016 : 3 – 4).

Terhadap puisi tersebut, sang guru dapat membangun komunikasi “penguat imunitas dan keakraban” dengan melancarkan pertanyaan–pertanyaan antara lain seperti: 1) Di manakah pohon pisang itu berada?; 2) Kenapa berada di tempat tersebut?; 3) Bagaimana keadaan lingkungan di sekitar pohon pisang tersebut?; 4) Dapatkah buah pohon pisang melaksanakan tugas suci “ditelanjangi” dan “dilumat” habis oleh mulut-mulut manusia”; dan lain sebagainya.

Semoga tulisan ini, konsep-konsepnya, serta ilustrasi-ilustrasi yang ada di dalamnya dapat menginspirasi guru-guru yang Creative/kreatif, Critical/kritis, Communicative/komunikatif, dan Collaborative/kolaboratif  (4C, keterampilan Abad 21) dapat memanfaatkan sastra jenis puisi sebagai medium penguat imunitas dalam meredam dan melumat keganasan dan derita “dampak” pandemik covid-19. Ewako (Semangat1)

 

Catatan :

*Pernah dimuat di Harian Umum Lombok Post, 4 Februari 2021 : hal. 5, dengan judul “Peran Sastra dalam Menjaga Imun Menghadapi Pandemi Covid-19”

 


 

 

 

 

 

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama