Oleh
Membaca karya sastra pada umumnya, dan puisi pada khususnya, sangat mengasyikkan bagi peminatnya. Keasyikan tersebut karena sang penikmat, seperti saya sendiri, akan mendaptakan “gizi” (manfaat) yang sangat bergizi, tidak sekadar ada gizi. Membaca puisi “Rindu” karya Bu Fauridah pun mendatangkan gizi bagi saya.
Gizi pertama adalah kenikmatan karena kata-katanya. Ini gizi yang umum pada karya sastra berbentuk puisi. Bukankah puisi sangat mementingkan – untuk tidak mengatakan ‘memutlakkan’ kata-kata atau diksi-diksi yang indah.
Selain kata-kata yang indah, puisi juga memutlakkan kata-kata yang asosiatif dan imajinatif. Puisi mendayagunkan diksi-diksi yang mampun menghadirkan daya bayang di batin (image) yang kaya : variatif dan menarik. Hadirnya diksi-diksi yang memenuhi tuntutan ini akan membawa penikmat masuk lebih jauh lagi hingga menggapai gizi kedua, menangkap ‘pesan’ sesuai persepsi, wawasan dan/atau kemampuan pembaca.
Gizi ketiga, kalau pun gagal mendapatkan sari pati puisi yang dibaca, minimal penikmat tergerak untuk berbuat sesuatu seperti yang terstimuli, mungkin, oleh salah satu kata, frase, ungkapan atau larik dalam bait-bait puisi yang dibaca.
Untuk lebih menikmati puisi “Rindu” tersebut, berikut ini larik-lariknya. “Kepada kau yang menjauh tak kembali /Kau pergi tuk panggilan Robb / Ku titipkan siapa rindu ini.. / Pada aliran air jernih yang terus mengalir indah kah.. / Atau pada awan membiru indah di angkasa / Merahnya mawar, putihnya melati merasuk dalam kerinduan // Tak pernah lupa apa yang pernah ada / Kenangan tersimpan merajut dalam raga / Rindu ini selalu hadir dan tak pernah pergi / Tentangmu serupa sang malam dalam sunyi ketenangan/ Selalu membangunkan tuk selalu ingat padaNya // Bayanganmu bagaikan angin dingin pengunungan menyeruak kulit / Nasihat-nasihatmu ibarat kicauan burung kutilang di pagi hari / Dekapanmu mencerahkan pikiran yang menuntut terus bersaing / Kaki-kaki kuat jadikan figur keteladan // Aku merindukanmu Bun / Doa ku selalu untukmu / Rindu ini semakin dalam / Karena dihadapkan pernah pernik mendidik //.
Terkait puisi “Rindu” karya Bu Fauridah, saya tidak berani menjamin mengatakan bahwa saya mendapatkan ‘gizi kedua” (roh) puisi tersebut. Yang berani saya pastikan adalah gizi pertama dan ketiga. Untuk gizi ketiga, saya terstimuli dengan “kicauan burung kutilang di pagi hari”.
Oleh karena saya bukan pecinta burung dan karenanya saya tidak pernah mendengar dan menikmati kicauan burung kutilang di pagi hari maka saya terpaksa googling. Alhamdulillah, saya mendapatkan dua vidio burung kutilang yang sedang berkicau. Saya tidak tahu apakah burung kutilang tersebut berkicau di pagi hari atau bukan, yang penting kicauan keduanya terdengar indah dan merdu.
Bagaimana keindahan dan kemerduannya? Maaf, saya tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Saya hanya bisa merasakan dengan hati, seperti puisi “Rindu” itu. Keindahan dan kemerduannya dapat mengobati rasa “rindu” seperti yang tercurahkan dalam puisi.
Riyadh, 7 Mei 2024.