APAKAH benar kita semua memiliki potensi besar sebagai penyair? Pertanyaan ini muncul (kembali) dalam benak saya setelah saya membaca salah satu artikel Much. Khoiri dalam blog pribadinya ‘https://muchkhoiri.com/category/sastra/page/2/’. Abah Emcho, demikian sapaan akrabnya, menulis “Setiap Orang Berbakat Penyair”.
Terhadap pertanyaan tersebut, kami sebagai peminat sastra pasti menjawab ‘ya’. Bahwa ‘hampir semua’ orang berpotensi besar sebagai penyair. Baik Abah Emcho maupun saya sendiri, – mungkin juga peminat sastra lainnya -- memiliki cara-cara tersendiri untuk membuktikan stance (pendirian) tersebut.
Untuk membuktikan ‘tesis’ bahwa setiap orang di negeri ini berbakat menjadi seorang penyair, Abah Emcho yang penulis lebih dari 70 judul buku, termasuk buku-buku sastra itu, menyarankan pembuktian dengan menyelenggarakan lomba menulis puisi pada tiap-tiap sekolah, universitas, lembaga, komunitas, dan sebagainya di seluruh Indonesia—dengan hadiah utama 10 mobil mewah, dan ratusan hadiah semi utama semisal mobil pribadi tak mewah, atau jutaan hadiah hiburan semisal ponsel seharga dua jutaan.
Lomba nasional itu disertai sosialisasi secara masif dengan masuk ke seluruh lapisan sosial masyarakat kita–bahkan sampai Talaud, Aceh Singkil, dan ujung Papua sana, dengan melibatkan sponsor sebanyak-banyaknya untuk membakar “kompor kreatif” masyarakat. Bahkan lebih diharapkan jika kegiatan nasional tersebut digelar dengan melibatkan dinas-dinas lintas kementerian, perusahan-perusahaan IT dan jejaring internet.
Jika langkah-langkah tersebut bisa diupayakan, Abah Emcho, yang juga founder Rumah Virus Literasi (RVL), sangat yakin bahawa pendaftar lomba akan membludak. ‘Banjirbandangnya’ peserta lomba yang masing-masing membawa puisinya – seberapapun ‘cair’ puisi tersebut – menandakan bahwa semua orang (kecuali yang tidak mendaftar atau sama sekali belum pernah menulis puisi) berpotensi menjadi penyair.
Untuk lebih menguatkan proposisi bahwa setiap orang sangat berpotensial menjadi– atau ‘dinobatkan’ – penyair, saya coba mengangkat pernyataan seorang novelis dunia, dengan disertai contoh-contoh yang riel terjadi di Bumi Pertiwi Indonesia.
Di luar komunitas peminat atau pegiat sastra, atau khususnya mungkin di kalangan penyair yang masih ‘mengeklusifkan’ atau mengistimewakan diri’, sampai saat ini tampaknya masih ada yang ‘mengutak-atik” semacam konsensus atau kesepakatan bersama mengenai kriteria yang eksak (baca: pasti, ajeg atau baku) dipakai sebagai barometer atau standar untuk meligitimasi kepenyairan seseorang. Ini mungkin bias warisan lama.
Dulu, di tahun 1990an, ketidakjelasan seperti itu pernah hangat diperbincangkan, tepatnya ‘dipertanyakan” antara lain oleh Akbar Faizal. Selain memperkarakan kriteria untuk mendapatkan "tiket" menjadi Penyair Maestro Abad Ke-21, Akbar juga secara tersirat mencari tahu kejelasan batas-batas yang membedakan apakah seseorang pantas menyandang predikat "penyair" atau tidak (lihat Nusa Tenggara, 24/11/1996).
Selama ini memang sebagian besar orang cenderung melegitimasi kepenyairan seseorang berdasarkan kuantitas dan/atau kualitas puisi yang pernah diciptakan atau berhasil dipublikasikan kepada khalayak ramai melalui berbagai media. Ada juga kecenderungan untuk menilai kepenyairan seseorang berdasarkan "to which extent" (sampai sejauh mana) si pencipta puisi setia terhadap "kebebasan" dalam karyanya.
Ada pula orang, barangkali, yang tiba-tiba "dicap" berbau penyair lantaran akrab bergaul dengan para dedengkot dunia kepenyairan kita. Dan tidak tertutup kemungkinan seorang siswa yang selalu mendapatkan nilai 95 ke atas dalam tugas-tugas menganalisis puisi dinobatkaan seseorang sebagai sang penyair, minimal “calon Penyair Muda”. Semua ini mungkin terutama jika kita merujuk pendapat Thomas Carlyle dalam mendifinikan ‘penyair’.
Thomas Carlyle (4/12/1795 – 5/2/1881), seorang seorang penulis satir dari Skotlandia, pernah berkata," We are all poets when we read poem well" (lihat Macmillan Literature Series, 1994: 161). Berdasarkan definisi ini, siapa pun yang bisa "membaca" puisi dengan baik maka yang bersangkutan berhak menyandang predikat "poet" (penyair).
Seperti harnya ‘menulis” atau ‘writing” yang memiliki makna ‘sekadar menggores’ (scracth), ‘menyalin’ (copying), atau “mengungkapkan gagasan secara tertulis (expressing an idea in written form), membaca atau “reading” juga memiliki tingkatan-tingkatan makna.
“Seseorang yang mampu membaca puisi dengan baik” bisa bermakna "orang yang mampu 'memvokalisasikan' atau melafalkan puisi yang dipresentasikannya dengan baik". Dalam bahasa Abah Emcho, orang yang mamapu memvocalkan puisi secara ‘berseni’ : penuh penghayatan; pencurahan segenap emosi; jiwa; dan mimik yang sesuai dengan roh karya yang dibaca. Singkatnya, orang tersebut mampu ‘mem-vocalize” puisi-puisinya secara hebat, memukau dan penuh penghayatan (1995). Keberhasilan W.S. Rendra, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Joko Pinurbo dan termasuk Sosiawan Leak membius serta mengobrak-abrik emosi audiensnya ketika memvokalisasikan puisi-puisinya memcerminkan kemampuan mereka "membaca" puisi dengan baik.
“Membaca puisi dengan baik” bisa juga berarti mampu "memahami" (comprehend) secara relatif utuh suatu puisi. Maka dari itu, keberhasilan Afrizal Malna dan Sosiawan Leak membedah serta menangkap "nafas" dan "roh" puisi-puisi yang diseleksi untuk dipublikasi juga mencerminkan bahwa kedua penyair tersebut telah dapat "membaca" puisi-puisi yang diseleksinya dengan baik (secara utuh).
Pada tataran (tingkatan) yang lebih sederhana, nilai 99,7, misalnya, yang diperoleh seorang siswa juga mencerminkan kemampuannya to comprehend puisi yang ditugaskan oleh guru sastranya dengan baik. Karena itulah, cukuplah beralasan ia mendapat hak istimewa berupa sebuatan 'penyair', paling tidak mahkota “Calon Penyair”. Bukankah setiap orang punya potensi, sementara yang berbeda adalah kadar potensinya?
Yang lebih penting sesungguhnya bagi kita (terutama bagi para siswa/siswi dan/atau mahasiswa/mahasiswi di seantero Nusantara) adalah mampukan kita menjadi bagian pewaris mahkota Kerajaan Sastra atau Puisi Indonesia di masa datang. Yang penting untuk diurus saat ini sebenarnya bukanlah mencari- cari atau mengejar-ngejar gelar tersebut. Melainkan, memburu serta memanfaatkan setiap momen atau kesempatan emas yang ada untuk "menggumuli" sastra-dalam hal ini puisi - secara intensif. Berproses.
Dari pergumulan proses semacam itu, bukan tidak mungkin akan terlahir kemampuan untuk menciptakan dan/atau membaca puisi dengan baik. Jika hal ini terwujud atau dapat diejawantahkan secara konkret dan kontinyu dalam kehidupan sehari-hari, gelar "penyair" itu niscaya akan datang dengan sendirinya baik dari lingkungan sendiri maupun dari kalangan yang lebih luas. Gelar ‘Kyai’ atau ‘Tuan Guru’ diberikan kepada ulama (orang yang berilmu tinggi dan luas dalam Islam) bukan karena telah mengantongi ijazah sarjana strata 1 (S1), magister (S2), atau Doktoral (S3), melainkan karena pengakuan masyarakat atau jamaah sebagai ‘pengonsumsi’ ilmu-ilmu mereka.
Yang terpenting sekarang, bukan meminta legitimasi "Apakah Kita Penyair?", melainkan marilah kita (seluruh lapisan masyarakat) berkarya terlebih dahulu. Berkarya secara totalitas dan dalam arti luas. Tidak setengah-setengah. Soal pemberian gelar, predikat atau sejenisnya, serahkan sepenuhnya kepada para pembaca atau audiens kita. Itu hak prerogatif mereka. Sekali lagi, yang terpenting di atas segala-galanya bagi kita sekarang adalah terus berjuang dan menunjukkan produktivitas karya yang variatif, kreatif dan berkualitas.
Ewako (semangat)!!!!
Riyadh, 6 Mei 2024
Terus berkarya. Bukan memburu sebutan penyair atau bukan. Msntap! Htr nuhun Pak!
BalasHapus