Sedikit Lagi tentang Kritikan

                                                Dokumen : Pngtree
Sedikit Lagi tentang Kritikan

Oleh

Mustajib

 

Mohon izin, saya ikut nimburung sedikit tentang kritikan. Yakni, kritikan menurut versi saya dan sebagiannya yang saya alami. Juga ‘keberkahan’ yang saya rasakan darinya, hingga saat ini.

Menurut hemat saya, kritikan sesungguhnya sunnatullah melekat pada diri kehidupan seseorang. Artinya kita tidak bisa terbebas sama sekali darinya. Di level diri kita sendiri sebagai invidu, ada kita kenal otokritik, yaitu kritikan pada diri sendiri. Oleh karena subjek dan objek dari kritikannya sama, yakni diri kita sendiri, maka ‘tone”, ‘mood’ atau nadanya pada otokritik bisa disesuaikan selembut-lembutnya sehingga tidak menggores hati dan perasaan.

Namun ketika sudah berada pada level diri sendiri sebagai makhluk sosial, yakni ketika sudah mulai berinteraksi dan/atau berkomunikasi dengan individu lain di luar diri kita, selain sudah pasti ada, kritikan itu tidak tunggal lagi alias satu-satunya, cita-rasanya juga tidak satu rasa, dan intensitasnya tidak pada derajat yang itu-itu saja. Ada kalanya manis, pahit, dan getir. Intensitasnya pun mulai dari yang menggores sampai menyayat-nyayat, dan bahkan sampai hampir meremukredamkam hati dan perasaan, yang bisa membuat orang down se-down-down-nya.

Kepastian itu semakin pasti dan keanekaragaman serta kepekatannya semakin beragam ketika kita dalam posisi ‘mempimpin’ (seberapa pun anggota yang dipimpin). Ketika saya menjadi pembina ekstrakurikuler, wali kelas, dan wakil kepala sekolah bidang hubungan masyarakat, kritikan (dalam beraneka bentuk dan intensitas) kian terasa akrab dalam kehidupan sehari-hari saya. Ada saja perkataan, perbuatan dan kebijakan yang mendatangkan sikap ‘suka’ (like) pada sekelompok orang di satu pihak dan ‘tidak suka’ (dislike) bagi keompok lainnya di pihak lain.

Ketika saya diangkat menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah menengah pertama negeri (SMPN) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), seorang tetangga di Perumnas, Ampenan, Tanjung Karang Permai, Sekarbela, yang notabene mantan kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Mataram, mengingatkan (berpesan) kepada saya, yang kurang lebih seperti ini, “Dik, ingat, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, sebaik-baiknya kepala sekolah, pasti ada musuhnya. Yang menjadi musuh itu adalah bapak ibu guru dan/atau pegawai yang terganggu kepentingannya, secara material maupun non material. Dialah yang akan pertama-tama menyatakan dan selanjutnya menebarkan ketidaksukaan, kebencian, fitnah dan kritikan-kritikan yang tajam dan pedas”.

Apa yang dikatakan itu ‘benar’ adanya, berdasarkan yang saya alami. Namun, menjadi tidak ‘benar’, tidak etis, jika saya sebutkan contoh-contoh kongkrit yang saya alami, karena disamping menjadi ‘aib’,  juga tidak relevan dengan forum yang bergengsi ini -- “Rumah Virus Literasi” (RVL). Yang bisa saya sampaikan sebagai mukadimah (pembukaan) adalah, bahwa peningkatan demi peningkatan dalam perjalanan karir saya banyak ditopang oleh “merit” kegiatan berliterasi, yang kegiatan-kegiatan literasi itu sendiri tidak sepi dari kritikan.

Di awal-awal karir menulis saya, yakni menulis opini di sebuah harian nasional yang tertbit di Bali tahun 1997 – 1998, di suatu kesempatan di kampus ‘Seribu Jendela” (sekarang, Universitas Pendidikan Ganehsa/Undhiksa, Bali, “guru menulis’’ saya (alm Prof. Soenaryono Basuki Ks), dengan nada berkelakar memberi kritikan, kurang lebih, “Mustajib sudah banyak tulisannya. Tulisan-tulisannya banyak mengutip ‘kata orang’. Lalu, mana ‘kata sendiri’?” Mendengar, membaca dan memahami ‘kritikan lembut’ tersebut, sebagai penulis, kita mafhum arahnya. Bahwa, saya terlalu banyak mengutip pendapat atau pernyataan orang atau ahli lain dan kutipan-kutipan itu hampir-hampir ‘menenggelamkan’ suara atau pendapat sendiri yang orisinal. Kita tahu bersama, justru orisinalitas itulah yang menjadi ‘pembeda’ pada diri seorang penulis dan dalam konteks komparasi dengan penulis-penulis lain.

Saya setuju dengan pendapat Bunda Telly (WhatApss Group/WAG ‘Rumah Virus Literasi (RVL), 26 April 2024) bahwa kita harus bijak merespon kritikan. Kesetujuan itu antara lain karena alasan di balik munculnya kritikan itu beragam. Saya punya pengalaman terkahit hal ini. Di tahun 2000 sampai pertengahan tahun 2001, esai-esai sastra saya cukup rajin nongol di rubrik “Sastra dan budaya” Bali Post Minggu (BPM). Saya merasa bangga dengan pemuculan esai-esai saya itu, dan tak pelak, saya menilai esai-esai saya itu bagus, paling tidak layak baca. Kenapa demikian? Alasan pokoknya adalah karena yang menjadi ‘penjaga gawang’ rubrik sastra dan budaya itu adalah Umbu Wulang Landu Paranggi.

Bang Umbu – demikian sapaan akrabnya – dikenal luas sebagai tokoh misterius dalam jagat sastra Indonesia sejak tahun 1960-an. Seperti yang terbaca melalui ‘Wikipedia’, penyair yang dijuluki “Presiden Malioboro” itu dikenal sebagai sosok “di belakang layar” yang mendorong para penyair muda untuk menjadi sastrawan. Melalui komunitas ‘Persada Studi Klub di Malioboro’ (Yogyakarta), (Alm.) Bang Umbu menjalankan perannya sebagai mentor dan sekaligus guru yang membimbing kelompok penyair dan seniman muda era 1970-an seperti Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Korie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, dan Ebiet G. Ade (lihat “Wikipedia”, id.m.wikipedia.or).

Merasa bisa “lolos sensor” dari sastrawan, penyair dan budayawan seperti Bang Umbu, agak percaya diri saya merasakan dan mengatakan “esai-esai sastra saya cukup layak dibaca”. Jika ‘tidak’, tidak mungkinlah diluluskan untuk dipublikasi. Oleh karena kesan ‘cukup baik’ itulah – walau cukup subjektif menurut penilaian pribadi diri saya sendiri, maka ketika setelah terkumpul modal yang memadai, pada tahun 2010, “esai-esai sastra”, beberapa prosa liris, dan ‘sekeping’ cerita pendek (cerpen) remaja (the only one at that time and ever ) itu saya bukukan menjadi sebuah buku antologi.

Atas terbitnya buku tersebut, ada yang menganggap “luar biasa”, ada yang melilai ‘tulisan yang baik’ dan ada yang mengungkapkan apresiasi-apresiasi positif sejenis. Tapi di sekitar tahun 2017 lalu, di suatu kesempatan dan tempat, ada seorang penulis muda di media maintream di Jakarta,  setelah membaca sebagian, memberi penilain, “tulisan-tulisan Bapak cukup baik, tetapi kata-katanya banyak yang repetitif dan emotif’.

Tapi bukan karena kritikan itu saya akhirnya ‘jeda sejenak menulis’. Ada sebab-sebab lain yang lebih menjurus pada urgensi “memuaskan kebutuhan perut” tinimbang mengejar kepuasan dada dan otak (batin). Alhamdulillah, beberapa tokoh literasi di WAG ‘Rumah Virus Literasi (RVL)’ telah berhasil memotivasi saya kembali untuk menggerakkan pena literasi. Diantaranya Abah Doktor, yang ketika saya menulis “Israel, Sastra dan Siswa Kita”, di WAG “Sahabat Pena Kita (SPK), 2 Desember 2023, pun “memberi kritikan halus” – menurut saya -- dengan mengatakan “Israel adalah salah satu bangsa yang menerapkan wajib militer bagi warga laki-lakinya. Doktrin dan komando akan lebih mujarab daripada (mungkin) bacaan sastra atau Al-Kitab. Terlebih bacaannya sedikit”.

Seperti biasa, Abah Doktor tidak hanya “mengkritik”, melainkan memberikan ‘arahan dan/atau tambahan pencerahan’. Tambahan pencerahannya berbunyi, “Bangsa Mesopotamia, India, Yunani, China, Jepang, misalnya, juga memiliki kekayaan sastra yang bagus. Tetapi, kalau sudah bicara militer dan politik, aneksasi dan penjajahan bisa dilancarkan. (Walaupun) Suara militer belum tetntu mewakili bangsa.”

Alhamdulillah, alih-alih menjadi down, saya justru merasa ter-lifted up (terangkat) dengan ‘sindiran lembut tersebut’. Betapa tidak?! Dapat wawasan baru dan 'dapat perhatian' dari seorang Master Tulis-Menulis. Demikian.

 
Riyadh, 26 April 2024

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama