RA Katini dalam Benak Bu Eman

                                                                     Foto RA Kartini. Dok. Kompaspedia
RA Katini dalam Benak Bu Eman

Oleh

Mustajib

 

“Bu Kar, apakah engkau bahagia di alam sana?” Itulah pertanyaan yang menyembul di dalam tempurung otak Bu Ema Wani, sang aktivis emansipasi wanita, yang terkenal pemberani dan vokal bersuara tentang isu-isu kesetaraan dan kesejahteraan perempuan, setidaknya, di kotanya. Bu Kar, yang dimaksud dalam pertanyaan itu, tidak lain kalau bukan Ibu Raden Ajeng (RA) Kartini, yang hari kelahirannya, 21 April, setiap tahun diperingati sebagai Hari Kartini di seantero negerinya.

Bu Eman – demikian sapaan akrabnya – belum beranjak dari tempat duduknya, di kursi ruang tamu yang properti lumayan mewah, yang sebagian dibeli dengan sebagian honorarium-honorarum yang diperoleh sebagai narasumber di berbagai kegiatan pelatihan dan seminar tentang emansipasi wanita dan perjuangan kesejahteraan kaum wanita. Tangan kiri Bu Eman masih memegang handphone-nya. Ujung telunjuk tangan kanannya kembali bolak balik, naik turun di atas layar hapenya model terbaru.

Dari raut wajahnya yang terlihat berat digelayut rasa kantuk, tetap tampak, sepertinya ibu muda itu seakan-akan tidak percaya pada berita yang ditulis Budi Santoso, yang dimuat Murianews, Jepara, pada 21 April 2024, pukul 17.12. Judul tulisan tersebut cukup mengundang selera Ibu Eman untuk membaca secara tuntas : “Kartini Termasyur, Bagaimana dengan Keturunannya?” Perlahan-lahan Bu Eman membaca lead tulisan itu yang menarasikan, “Dalam kehidupannya di dunia yang hanya selama 25 tahun, Kartini adalah sosok yang termasyur. Namun bagaimana dengan anak keterunannya?

Dalam beberapa kali presentasinya di berbagai seminar, Bu Eman memuji setinggi langit, sepenuh jiwa, pemikiran-pemikiran Ibu RA Kartini yang telah menjadi rahasia publik. Bahwa kaum perempuan harus memiliki hak yang sama dalam pendidikan, pekerjaan dan juga bidang-bidang lain. Kaum perempuan berhak untuk keluar dari ruang domestiknya menuju ruang publik untuk memperjuangkan pendidikan, pekerjaan dan kesejahteraannya, demi dirinya, keluarganya dan anak-anak keturunannya. Bahkan kesejahteraan untuk kaumnya, paling tidak di lingkungan sekitarnya.

Kemasyuran RA Kartini de facto tidak hanya di negeri asalnya, Indonesia, juga diakui di dunia, terutama oleh Belanda yang ‘sempat’ menjajah negari selama tiga setengah abad. Saking tingginya pernghormatan kepada Ibu RA Kartini, nama ‘Kartini’ menjadi salah satu nama jalan di Negeri Kincir Angin itu. Demikian, antara lain, Murianews menulis.

Di bagian lain terungkap bahwa Ibu RA Kartini, sang putri sejati, meninggalkan dunia setelah empat hari melahirkan putra semata wayangnya. Sang bayi akhirnya diasuh oleh neneknya sampai dewasa. Setelah dewasa, sang putra semata wayang mendiang RA Kartini terjun dalam dunia militer. Walaupun sempat diturunkan pangkatnya dari Mayor Jenderal menjadi Kolonel, sang putra semata wayang RA Kartini itu menjadi salah seorang jenderal kesayangan Presiden Soekarno.

Diberitakan pula, Sang Kolonel hanya memiliki satu orang putra. Putra Sang Kolonel memiliki lima orang anak, yang kata Murianews, kelimanya menderita autisme. Sang putra Kolonel meninggal di usia 57 tahun. Sepeninggalan Putra Sang Kolonel, istrinya – yang berinisial SB – berjuang sendirian untuk menghidupi anak-anaknya. Dari kelima ‘anak yatim’ itu, diketahui hanya anak pertama yang memiliki kehidupannya cukup lumayan.

Terungkap juga dalam berita, bahwa Pemkab Jepara dan Pemerintah RI -- melalui Kementrian PU dan Kemendikbud pernah berencana mengulurkan tangan untuk memberikan biaya kuliah, membangunkan rumah mereka di Parung Bogor, Jawa Barat, dan memberi beasiswa untuk keberlansungan pendidikan ‘anak-anak’ keturunan RA Kartini. Akan tetapi, lagi-lagi tulis Murianews, rencana-rencana itu tidak jelas juntrungya hingga hari ini.

“Wahai pahlawan nasional Bu Kar, apakah engkau bahagia di alam sana?”, kembali Bu Eman bertanya pada dirinya, sembari bangkit dari tempat duduknya, lalu perlahan menuju kamar tidunya untuk beristirahat siang, setelah menuntaskan suatu kegiatan sosial. “Bismillah, sewaktu-waktu saya ke Bogor,” kata Bu Eman sambil merebahkan kepalanya di atas bantal. Lalu, terlelap.

 

Riyadh, 27 April 2024

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama