Oleh
Mustajib
Untuk mengnenag meninggalnya penyair Joko Pinurbo –
akrab dipanggil Jokpin (Sabtu, 27/4/2024), Abah Inin – sapaan akrab (Abah) Mukminin
-- menggoreskan ujung penanya yang akhirnya melahirkan tiga ‘keping’ puisi.
Ketiganya masing-masing berjudul ‘Senyum Jepe dalam Perjamuan Khong Gua’, ‘Kitab
Puisi Bercerita’ dan ‘Puisi Lebih Tajam dari Gobang’ (lihat, “Puisi Mengenang
Jokpin”, https://cakinin.blogspot.com/,
Senin, 29/4/2024).
Seperti halnya puisi-puisi Jokpi, puisi-puisi Abah Inin
juga menggunakan diksi-diksi atau pilhan kata-kata yang sederhana, namun ‘sangat
bertenaga atom’ sehingga mampu menggugah pikiran seseorang. Setidaknya,
puisi-puisinya dapat melambungkan keliaran imajinasi dan konektivitas pikiran
seseorang – seorang penikmat sastra.
Salah satu puisi Abah Inin dapat melambungkan memori
saya menembus masa dua dekade dan bermil-mil jarak geografis. Puisi tersebut
adalah puisi ketiga, yang walaupun garang tetap berujar lembut, “Menegakkan
kebenaran / keadilan / tiada perlu kekerasan / anarkis / apalagi
angkat bedil // kata-kata dalam puisi / yang kau ramu / dalam-dalam / getarkan
jiwa // bukankah kata-kata / yang tertoreh tinta / dalam kitab /
mengajari kehidupan / memanusiakan manusia / lebih tajam dari gobang //.
Menurut puisi di atas, kata-kata yang “terucap sepoi-sepoi”
ternyata mampu meleburkepingkan ‘gobang’. Gobang adalah uang tembaga senilai 2,5
sen. Benggol adalah nama lainnya. Gobgang juga memiliki makna lain, yaitu ‘pedang’
(lihat, “Wikikamus”, id.m.wiktionary.org).
Puisi Abah Inin yang ‘dilahirkan’ di Lamongan di atas
mengingatkan saya pada puisi yang dilahirkan oleh Mahmoud Darwish. Darwish
menulis, “… so leave our country, our land, our sea, our wheat, our salt,
our wounds everything, btween fleeting the memories of memory of those who pass
between fleeting words’. Terjemahan bebas-harfiahnya, kurang lebih sebagai
berikut: “… karenanya, tinggalkanlah negeri kami, tanah air kami, laut kami,
gandum-gandung kami, garam-garam dapur kami, luka-luka kami, semuanya, dan
enyahlah dari kenangan-kenangan di dalam ingatan mereka yang berlalu-lalang
diantara jilatan kata-kata”.
Sejak pemunculannya, penggalan puisi karya penyair
Palestina di atas sukses besar mengobarkan badai kemarahan dan keputusasaan kaum liberal Israel. “These
lines from a poem by the best Palestinian poets have rasied a storm of anger
and despair among Israeli liberals since its publications,” tulis Bernard
Edinger dalam tulisannya “A poem raises a storm among Islaerils” (The
Jakarta Post, 8/6/1988, lihat Mustajib, 2010 : 44 - 45).
Dari data dan fakta di atas jelaslah, jangankan ‘gobane’
('tampang', 'selongsong' atau 'tubuhnya (seseorang)', Bhs. Bali, dalam pemaknaan “pars pro toto”
(sebagian untuk menyatakan keseluruhan)”, lihat ‘BASAbali Wiki’, https://dictionary.basabali.org/Goban, setidaknya remukredam secara psikologis),
gobang yang terbuat dari tembaga pun lumatlumer ‘dikunyah’ puisi. Bukankah kita
tahu bersama juga, bahwa ‘matra’ sebagai puisi lama dapat melembeklempemkan ‘pedang’
dalam peperangan ‘jahili’ yang ada di film-film laga maupun perang tradisional di dunia nyata zaman
dahulu kala?
Riyadh, 29 April 2024
Alhamdulilah
BalasHapusLuar biasa atas apresiasinya Bah Mustajib. Terima kasih.
Siap. Sami-sami. Simbiosis mutualisme. Hehehe. Sukses selalu, Bah.
Hapus