Oleh
Mustajib
Diantara tulisan-tulisan
fiksi, puisilah yang lebih lentur ‘meniupkan’ kebebasan berekspresi. Kebebasan
ini antara lain karena keberadaan larik-larik puisi dapat terbangun dari satu
kata saja, satu atau beberapa frase, atau satu kalimat utuh. Berbeda dengan
bentuk-bentuk prose fiction lain, semisal cerita pendek dan novel,
pengungkapan gagasan masih memerlukan atau melalui kalimat dan/atau gabungan
kalimat utuh, kecuali dalam percakapan antartokoh.
Kelenturan
berekspresi seperti itu dimungkinkan karena ada keistimewaan puisi, berupa kewenangan
bernama licentia poetica. Licentia poetica, lisensi
puitika, atau lisensi artisitk merupakan kebebasan mencipta dan,
sekali lagi, merupakan ‘keistimewaan’ dalam menulis larik-larik
puisi.
Sebelum
melihat licentia poetica lebih dekat, khususnya mencermati
batasan-batasan licentia poetica dalam menciptakan puisi, ada
baiknya kita mencermati pengertian puisi terlebih dahulu. Dengan demikian,
nantinya kita dapat menemukan celah-celah yang bisa dterobos dan tidak boleh
diterjang sesuka hati dari batasan-batasan penerapan licentia poetica
tersebut.
Menurut
Sumardi, puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat,
dan diberi irama dengan bunyi padu dan pemilihan kata-kata yang imajinatif
(lihat “Pengertian Puisi, Ciri-Ciri, dan Jenisnya’ oleh Rika Pengestu, dalam www.detik.com, 21. Janiari 2022, 16 : 30 WIB).
Beranjak dari
definisi di atas, celah yang paling potensial untuk mendayagunakan kebebasan
mencipta itu ada pada unsur “pemadatan dan penyingkatan”. Tidak pada semua
aspek. Kesan kebesasan mencipta yang sebebas-bebasnya muncul, antara lain, karena ada
pernyataan (‘yang kurang terkontrol”) yang mengatakan, “pembuatan sebuah
puisi tidak memerlukan waktu yang lama. Setiap orang memiliki kebebasan dalam
mencurahkan ide dan perasaannya,” (dikutip dari “Bab II : Kajian Pustaka”,
anonim, tanpa tahun hal. 6, dalam http//repository.syekhnurjati.ac.id). Dalam pernyataan ini secara implisit ada kesan, atas nama kebebsan mencipta, semua ‘penyimpangan’
halal (sah) adanya.
Lalu, di manakah
sesungguhnya kontrol kebebasan-kebebasan mencipta itu? Untuk menemutunjukkan
poin yang dimaksud, ada baiknya kita memulai dari pengertian licentia
poetica.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mendifinisikan licentia poetica adalah kebebasan dalam mengubah
atau mengabaikan aturan-aturan bahasa untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan
tertentu yang dimaksud adalah keindahan pemilihan bahasa yang digunakan (lihat kids.grid.id).
Dalam Kamus
Istilah Sastra (1990), Panuti Sudjiman mengartikan licentia poetica
sebagai kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau
aturan, untuk mencapai suatu efek (lihat narabahasa.id).
Mungkin masih
ada definisi-definisi yang lain. Hanya saja, kalau kita cermati secara seksama,
lisensi puitis atau kekebasan artisitik itu hanya diberlakukan pada pemilihan
diksi, pembebasan kata dari makna-makna tradisional-kulural (moral kata),
pembebasan dari penataan-penataan kalimat (sintaksis) atau aturan-aturan baku
lainnya.
Namun, dalam
realita sosial sastra kita, mungkin masih ada pencipta atau penikmat sastra
yang mengartikan bahwa dalam menciptakan sastra, khususnya puisi, licentia
poetica melegalkan pelanggaran diluar batasan definisi di atas.
Mereka,
mungkin, salah menafsirkan kata-kata Hasan Aspahani dalam “Lisensi Puitika dan
Kebebasan Berbahasa” bahwa dengan licentia poetica tidak ada batasan
yang tetap. Semuanya bergantung pada konteks (narabahasa.id).
Diantara
mereka, mungkin ada juga yang “terpedaya” oleh penyataan Yudhistira (2021) yang
menulis, “Agaknya, pengertian dari Sudjiman (‘di atas’) lebih luas. Pengarang
bukan hanya berhak melanggar kaidah-kaidah bahasa. Lebih dari itu, mereka bebas
menyimpang dari kenyataan” (narabahasa.id).
Saya sendiri
berpendapat, sependek pengetahuan, pemahaman dan rasa sastra saya, dalam
mencipta karya sastra, khususnya puisi, tidak semua bisa dilanggar semena-mena.
Yang tidak bisa dilanggar sekendak hati
yang dimaksud adalah linieritas, konsistensi, atau keajegan dan
keberterimaan (acceptability) alur pikir atau logika. Inilah yang saya
sebut “logika yang harmoni”.
Atas dasar itulah,
pakar Creative Writing, sekaligus founder RVL Much Khoiri pernah
“menegur” (mohon maaf, sebagai data) Bu Wiwin dalam WhatApp Group (WAG) Rumah Virus Literasi (RVL) ini beberapa waktu lalu.
Bu Wiwin
menulis puisi berjudul “Literasi” (WAG RVL, Jum’at, 26 April 2024) yang
larik-lariknya sebagai berikut : Begitu ringan diucapkan / Begitu berat
dijalankan / Begitu berat dipertahankan / Begitu berat dibiasakan // Ya
literasi / Menjadi PR Negeri ini / Untuk menghidupkan literasi / untuk kita
saling berbagi // Begitu ringan bagi mereka yang berilmu / semua ucapan menjadi
ilmu / Semua menjadi ladang pahalamu / Semoga menjadi amal jariahmu //.
Terhadap
puisi Bu Wiwin, pada bait ketiga, terjadi disharmoni logika, ketidakajegan
logika, dari yang sebelumnya menggunakan sudut pandang “mereka” menjadi
“ka(-mu) : ... Begitu ringan bagi mereka yang berilmu / semua
ucapan menjadi ilmu / Semua menjadi ladang pahalamu / Semoga
menjadi amal jariahmu // .
Napunten, mohon maaf. Ini pendapat subyektif saya
pribadi. Sepertinya – dan semoga tidak benar – saya menemukan diharmoni logika
pada puisi Abah Inin (Mukminin), yang berjudul “Puisi-puisi itu Menemuimu di Liang Lahat” (WAG RVL, Rabu, 1 Mei 2024). Jari-jemari
kreativitas Abah Inin menatah larik-larik sebagai berikut: Puisi-puisi itu
Menemuimu di Liang Lahat / larik-larik puisi / yang terlanjur membeku hitam kaku dalam lipatan kitab / terus
bernyanyi / berlari / aku menemu / di kitab itu: kata pebaca // puisi-puisi itu
/ satu persatu / meneteskan embun pagi / bening / menemuimu / dalam liang
lahatmu //.
Lalu, di
manakah disharmoni atau ketidaklinieran logika itu? Saya “mengendus” di bait
pertama, khusunya pada bait – bait “... larik-larik puisi / yang terlanjur
membeku hitam kaku dalam lipatan kitab /
terus bernyanyi / berlari ....”. Disharmoni logika berupa ‘ketakberterimaan (unacceptability)
logika atau alur pemikiran’. Dikatakan, entitas-entitas berupa “larik-larik
puisi / yang terlanjur membeku hitam kaku (dalam lipatan kitab) / terus
bernyanyi / (dan) berlari ...”. Logikanya, bagaimana sesuatu yang “membeku
hitam kaku terus (bisa) bernyanyi (dan) berlari?”. Di sini kelogisan belum bisa
“diterima” secara signifikan.
Terkecuali,
ada piranti pengharmonis atau transisi penyambung gap berupa kata, frase
atau ungkapan yang menunjukkan “dinamika” (untuk membaskan diri dari kondisi statis) sebelum larik “terus bernyanyi”
semisal ‘terus coba bergeliat” atau sejenisnya sehingga akan terbaca “larik-larik
puisi / yang ... membeku hitam kaku ... / terus coba bergeliat / terus
bernyanyi (hingga akhirnya) berlari .... sambil meneteskan embun pagi nan
bening ....” Bukankan ini lebih smooth, regresif atau logis dinamikanya?
Perkenankan
saya mengutip satu puisi (lama, yang) pendek, karya penyair dari luar Tanah Air
(sehingga tidak menjadikan ketenarannya sebagai pembenar karya-karyanya yang
tanpa cacat), sebagai ilustrasi ketersambungan atau keajegan nalar sebagaimana disinggung di atas,
misalnya, pemunculan beragam sudut pandang dalam suatu karya. Puisi yang
dimaksud secara elegis merintih, “Wahai jiwa / perindahlah rasa keluh kesah /
sesungguhnya orang yang engkau khawatirkan telah terjadi / Dia mempunyai sifat
kedermawanan, keperkasaan, dan kekuatan / Orang cerdas yang benar-benar
menyangka kepadamu / seakan-akan dia melihat dan mendengar // (Dikutip dari
Pengantar Teori Sastra Arab oleh Dr. H. Akhamd Muzakki, M.A. 2018 : 114).
Dalam puisi
tersebut, keragaman sudut pandang yang muncul seperti ‘orang’, ‘engkau’, ‘Dia’, ‘Orang (cerdas)’, ‘(ka)-mu’, dan 'dia' masih dapat kita runut rujukannya masing-masing. Nalar
masih tersambung alias harmonis.
Masih perlu contoh dari puisi Dalam Negeri? Jika memang perlu, mari kita lihat salah satu potongan puisi berjudul "Lautan Berkah" yang tiga bait pertama terlafas sebagai berikut : Setiap lautan memiliki kedalaman / juga keleluasan berbeda / tapi satu lautan Cuma, tiada tandingannya / tak dapat diukur kedalamannya / tak bisa dihitung keluasannya / ialah lautan ramadan // ia terbentang tak terkira / tak bisa dibingkai cakrawala / tak ada pantai mampu menggaris batasnya / kecuali pantai fitri / yang menyucikan segala nurani, / bila ikhlas melayari sepenuh hati // ia memusar tanda dasar / tak ada ceruk terendah / jadi wadah untuk menadah / kecuali ceruk tawaduk / tempat tersaji kemurnian mabruk, / jika ria menyelami seutuh khusyu // (dikutip dari "Sekilas Kumpuis 'Siam Semesta : Kitab PuisiSosiawan Leak'" oleh Much. Khoiri, dalam muchkhoiri.com, cateory Sastra, 9/10/2022)
Dalam puisi di atas, sang penyair Sosiawan Leak, salah seorang penyair kenamaan di Tanah Air, begitu peduli dengan kerharmnonisan logika. Dengan mengantongi licentia poetica dan kemahirannya yang tidak bisa diragukan lagi dalam menulis puisi, di dalam puisinya itu, ia tidak gegabah 'nyelonong" begitu saja untuk masuk ke 'dasar lautan'. Sebelum sampai ke "ceruk Maburk" ia transisikan dinamika dari permukaan ke kedalaman lautan dengan menyelipkan bait "ia memusar tanda dasar", pada larik pertama bait ketiga.
Sekali lagi, ini analisis subyektif saya. Validasi objektifnya kita tunggu dari Master Creative
Writing kita, suhu kita : Abah Doktor Much. Khoiri”. Atau dari pembaca
lainnya. Nuwun sewu, kulo pamit undur!
Riyadh, 1 Mei 2024.
Siap. Terima kasih.
BalasHapusSemoga Abah Khoiri memberi pencerahan
Siap. Terima kasih
BalasHapusSemoga Abah Khoiri memberikan pencerahan
Seaappp, Abah. Aaamiin, semoga. Terima kasih atas pencerahan-pencerahannya, Bah Inin. Salam Literasi. Salam sehat dan sukses selalu. Aamiin
BalasHapusTerima kasih juga atas anjangsananya di blog ini. Insya Allah membawa barokah
BalasHapusIlmu baru bagi saya, dan sangat menarik. Saya hrs byk belajar, memperbaiki karya puisi saya, setelah membaca tulisan ini. Mkasih Pak Mustajib atas sharing ilmunya..
BalasHapusMakasih tulisannya, ilmu baru buat saya dalam menulis puisi nanti... keren
BalasHapus