(Partriarki, Keberagaan, Literasi dan Emansipasi)
Oleh
Mustajib
Sejujurnya, saya tidak terlalu banyak tahu tentang Raden
Ajeng (RA) Kartini, sang putri sejati, yang setiap tanggal 21 April tiap
tahunnya diperingati hari kelahirannya sebgai Hari Kartini oleh seluruh Warga
Negara Indonesia (WNI), dimana pun mereka berada, termasuk yang berada di luar
negeri. Kekurangtahuan itu bukan karena saya tidak berstatus sebagai “kaum
perempuan” dan bukan pula karena tidak mendukung semangat emanssipasi perempuan,
yaitu persamaan hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan antara alin dalam
bidang pendidikan dan bidang-bidang lain. Yang pasti, penyebabnya adalah saya
kurang membaca tulisan-tulisan atau literatur-literatur terkait RA Kartini,
termasuk bukunya yang terkenal berjudul Habis Gelap Terbit Terang itu.
Di tahun-tahun sebelumnya, ketika dihadapkan dengan
keharusan berbicara tentang RA Kartini, semisal saat bertugas sebagai pembina
upacara bendera peringkatan Hari Kartini di sekolah, dimana saya harus memberi
amanat seputar RA Kartini, saya hanya menyinggung hal-hal yang bersifat umum, normatif,
atau yang lumrah diperbincangkan orang, semisal hari kelahiran (21 April 1879),
nilai-nilai karakter baik yang dipegang teguh (seperti relijius dan menghomrati
orang tua, sehingga tetap menaati orang tua untuk menjalani masa pingitan,
lihat www.gramedia.com)), dan
cita-citanya yang ‘sungguh besar, bagi Indonesia”, yakni mengangkat hak-hak
kaum perempuan agar sejajar dengan kaum lelaki.
Namun pada Minggu pagi, 21 April 2024, saat memberi
amanat pada pelaksanaan ‘apel’ dalam rangka memperingati Hari Kartini, 21 April
2024, yang sekaligus dirangkai dengan Halal Bihalal dengan siswa-siswi dan guru-pegawai
Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), beserta mahasiswa-mahasiswa perserta program
Merdeka Beleajar Kampus Merdeka (MBKM) dari Universitas Indonesia/UI (6 orang)
dan Universitas Sumatera Utara/USU (6 orang), serasa ada kewajiban moral untuk
‘keluar’ dari rutinitas-amanat-normatif sebagaimana pada tahun-tahun
sebelumnya, untuk acara yang sama. Yang mencuat dalam pikiran saya, kali ini, adalah
pertanyaan “Apa yang membuat RA Kartini hebat?”
Apa yang membuat RA Kartini seperti itu : hebat dan
akhirnya menjadi masyur? Itulah pertanyaan yang saya ajukan kepada para siswa
setelah saya mendapat konfirmasi atau pengakuan mereka atas kehebatan RA
Kartini. “Kartini hebat, kan?”, tanya saya. Para siswa mengafirmasi dengan menjawab,
“Ya”, dan terlihat ada juga yang menganggukkan kepala. Oleh karena keterbatasan waktu, saya tidak meminta
mereka men-spill bukti-bukti yang membenarkan bahwa RA Kartini memang
benar ‘hebat’ dan karenanya pantas mendapatkan kehormatan sepeninggalannya.
KalauSekiranya pun sempat saya bertanya tentang alasan
atau bukti-bukti itu, sebagian jawaban potensial dari mereka adalah bahwa RA Kartini
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Hanya orang-orang yang luar biasa, yang
istimewalah, yang bisa ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Tidak ada orang ecek-ecek,
yang biasa-biasa saja, atau apalagi yang ‘kawe-kawe”, yang dinobatkan sebagai
Pahlawan Nasional.
Seseorang bisa ditetapkan sebagai Pahlwan Nasional
apabila memenuhi semua persyaratan sebagaimana termaktub dalam UU No, 20 Tahun
2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Berdasarkan Undang –
Undang (UU) tersebut, RA Kartini telah memenuhi syarat-syarat khusus, antara
lain, (dianggap) pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat
menunjang pembangunan bangsa dan negara dan pernah menghasilkan karya besar
yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan
martabat bangsa.
Para siswa bisa juga beragumen bahwa RA Kartini sudah sesuai
dengan lagu nasional “Ibu Kita Kartini”, setidaknya sampai sejauh ini, belum
ada yang membantah atau protes. Bahwa
RA Kartini adalah putri sejati dan putri Indonesia --bukan Warga Negara Asing
(WNA). Ia putri yang mulia, namanya harum alias tidak tercela. Ia pendekar
bangsa dan pendekar kaumnya untuk merdeka dari dominasi budaya partiarkis –
yang lebih berpihak pada kaum laki-laki. Cita-citanya sungguh besar untuk
Indonesia yang menjunjung tinggi kesetaraan hak perempuan dan laki-laki (emansipasi
perempuan).
Apa yang
membuat RA Kartini hebat, padahal pendidikannya tidak terlalu tinggi jika
dibandingkan dengan umumnya kaum perempuan saat ini? Atas pertanyaan retoris
ini saya pun menyampaikan kepada para siswa bahwa RA Kartini lahir pada tanggal
21 April 1879. Ia masuk sekolah Europeesche Lagere School (ELS), semacam
pendidikan atau sekolah dasar (SD) pada masa itu (lihat”Europeesche Lagere
School (ELS) dan Perkembangannya” dalam kompas.com). Di usia yang ke-12
tahun, ia berhenti bersekolah karena harus masuk masa pingit sebelum
pernikahan.
Analisis
saya, yang juga saya sampaikan ke para siswa, adalah jika masa studi di ELS
tujuh (7) tahun (lihat”Europeesche Lagere School (ELS) dan
Perkembangannya” dalam kompas.com), ada dua kemungkinan status
pendidikan RA Kartini. Pertama, jika ia masuk sekolah pada usia 5 tahun, berarti
ia tamat dari ELS. Mungkinkah ia mulai bersekolah di usia 5 tahun di jenjang
sekolah dasar waktu itu? Jika ia mulai masuk sekolah di usia 6 tahun, seperti
rata-rata usia awal sekolah anak-anak di era sekarang, berarti di usia 12
tahun, saat ia berhenti sekolah untuk memasuki masa pingit sesuai amanah
tradisi ‘patriarkis’, berarti ia tidak
tamat ‘sekolah dasar’.
Pertanyaan-pertanyaan
langsung saya ke siswa adalah, jika kalian tamat SD saja, atau bahkan tidak
tamat SD sama sekali sekrang ini, mampukah kalian berbuat seperti yang dilakukan
Ibu Kartini di masa datang? Atau, katakanlah lebih beruntung, jika kalian tamat
sekolah menengah pertama (SMP) atau sekolah memengah atas (SMA) saja, mampukah
kalian tampil seperti Ibu Kartini dengan pemikiran-pemikiran besar di masa yang
akan datang? Karena waktu terbatas, pertanyaan itu saya jadikan pertanyaan
retoris alias saya jawab sendiri juga.
Dengan tetap
bersandar pada ajaran agama Islam pada khususnya, bahwa kita harus selalu
berbaik sangka (husnuzon) baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sesama
manusia, serta sikap optimis yang konisten sebagaimana dilakoni RA Kartini yang
relijiius, terhadap pertanyaan retoris di atas saya menjawab “Bisa. Sekalipun
tidak tamat SD, dan apalagi tamat SD, SMP maupun SMA, kalian bisa seperti RA
Kartini, dengan catatan, kalian melakukan paling tidak dua hal seperti yang
dilakukan RA Kartini.
Pertama,
selama masa pingit, RA Kartini terus atau banyak membaca. Bahan-bahan bacaan
langganan orang tuanya (Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat) turut dibaca. Ketika
berusia 20 tahun, RA Kartini membaca buku-buku karya Louis Coperus (De
Stille Kracccht), Van Eeden, Augusta de Witt, Multatuli (Max Haverlaar
dan Surat-surat Cita) serta berbagai roman beraliran feminis (lihat
“Profil Kartini,viva.co.id). Inilah yang memperluas wawasan, mematangkan
intelektualitas dan mem-agar gagasan RA Kartini.
Dan kedua,
ternyata RA Kartini tidak berhenti hanya membaca saja. Ia juga menulis,
setidak-tidaknya menulis ke teman-temannya yang ada di negeri Belanda, antara
lain Ms. Estelle “Stella” Zeehandelaar, Ms. Rosa Abendanon dan Ms. Van Kol. Tulisan-tulisan
inilah, yang selanjutnya diterbitkan menjadi buku Habis Gelap Terbitlah
Terang. Apa jadinya jika tidak ada buku ini, jika tidak ada (kumpulan)
tulisan ini? Sekalipun RA Kartini banyak membaca, meneurut hemat saya, keberadaannya
dan eksistensi pemikiran-pemikirannya
tidak akan banyak diketahui, termasuk dijadikan sebagai karya monumental, jika
tidak terbantu oleh kumpulan tulisan-tulisannya itu : Habis Gelap Terbitlah
Terang.
Produk
literasi berupa buku itulah yang secara signifikan, setidaknya sejauh yang saya
ketahui, membedakan RA Kartini dengan kedua saudaranya : Kardinah dan Roekmini.
Mereka bertiga sama-sama bersekolah, sama-sama suka baca, sama-sama membangun
sekolah, sama-sama memberi pendidikan pada kaum terhegemoni patriarkis bernama
kaum perempuan, dan sama-sama terus secara konsisten memperjuangkan kesetaraan
hak-hak kaum perempuan sesuai dengan kondisi lingkungan sosial budaya
masing-masing. Tapi kedua saudaranya tidak menghasilkan tulisan, tidak punya
tulisan serupa Habis Gelap Terbitlah Terang.
Karena
itulah, pesan terakhir saya kepada siswa, agar mereka terus gmenggelorakan
semangan berliterasi membaca dan menulis supaya bisa menjadi orang-orang
sekaliber almarhumah Ibu RA Kartini atau menjadi Kartini – Kartini Modern di
masa-masa datang.
Analisis saya
lebih jauh, dan semoga bagian analisis ini sempat dibaca oleh para siswa
peserta apel Hari Kartini 21 April 2024 di SIR pada suatu saat di kemudian hari
nanti untuk lebih memahami secara lebih lengkap apa yang seharusnya saya
sampaikan namun tidak tersampaikan karena alasan ketersediaan waktu, bahwa
pilihan RA Kartini untuk banyak membaca dan menulis itu tidak tertutup
kemungkinan terinspirasi, atau paling tidak dampak dari, kesadarannya atas
amanah futuristik wahyu Ilhai yang pertama “Iqra’”.
Disampaikan
dalam tulisan “6 Sifat Teladan Kartini, Nomor 4 Bisa Menginspirasimu!”, dalam Gramedia.com,
21 April 2024, bahwa RA Kartini adalah seorang Muslimah dan sosok pribadi yang
relijius, yang dekat dengan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Kerelijiusan
tercermin dari kegiatan sehari-hari selama menjalani masa pingit, yakni rajin
membaca al Qur’an. Bahkan ia gigih
mempelajari tafsir dan arti ayat-ayat al-Qur’an. Di dalam mempelajari arti
ayat-ayat al-Qur’an dan tafsir inilah muncul potensi RA Kartini ‘bersentuhan’
dengan wahyu Ilahi “Iqra”.
Iqra’
sebagaimana kita pahami adalah wahyu Ilahi pertama yang diturunkan kepada umat
manusia berisi perintah untuk “membaca” : membaca dalam arti yang
seluas-luasnya. Menyerap, mencerap dan memahami segala sesuatu yang tertangkap
kelima panca indra merupakan kegiatan membaca. Melafalkan ayat-ayat suci
al-Qur’an juga termasuk bagian dari membaca. Membaca dalam arti yang lebih
sublim, dalam konteks ‘membaca al-qur’an’, adalah memahami dan meresapi makna dan/atau
pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an, seperti pada kegiatan mempelajari
tafsir al-Qur’an yang dilakukan oleh RA Kartini.
Kesadaran RA
Kartini untuk membaca dalam pengertian yang sublim di atas tercermin melalui
pertanyaan kepada guru mengajinya, Kyai Sholeh bin Umar asal Darat, Semarang. Di
suatu kesempatan, RA Kartini mengafirmasi kegiatan ‘membacanya’ kepada gurunya,
“Kyai, selama hidup saya baru kali ini saya berkesempatan memahami makna surat
Al Fatihah, surat pertama dan induk surat Al-Qur’an. Isinya begitu indah dan
menggetarkan hati saya.” Kenikmatan membaca tidak menutup kemungkinan
membuat RA Kartini untuk semakin banyak membaca.
Urgensinya kebutuhan menulis dalam arti seluas-luasnya,
mulai dari sekadar mengogreskan pena, menerjemahkan suatu teks dalam suatu
bahasa sumber ke teks bahasa target, sampai dengan menulis dalam pengertian
menuangkan dan memublikasikan suatu ide atau gagasan, antara lain secara
implisit tercermin melalaui dialog RA Kartini dengan gurunya, sebagaimana
dituturkan oleh Ny Fadhilah Sholeh, cucu sang Kyai Sholeh Darat, sebagai
berikut : “Bukan buatan, rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun saya heran mengapa selama ini mereka
melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alquran kedalam bahasa Jawa. Bukankah
Alquran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia? (lihat
“Kartini dan Literasi Islam Nusantara” dalam medium.com).
Lagi-lagi saya berspekulasi, dalam inetarksi dialogis
antara kebutuhan menulis dan membaca inilah, terlehih-lebih menyukai membaca
tafsir, RA Kartini bertemu dengan Surat Al-Hujurat ayat 13 yang menegaskan
bahwa tidak ada perbedaan antara sesama manusia, termasuk antara laki-laki dan
perempuan. Yang membedakan adalah derajat ketaqwaan. Saya berkeyakinan kuat
bahwa basis Qur’ani inilah yang turut menguatkanikhtiar RA Kartini untuk
memperjuangkan emansipasi wanita. Wallahua’lam bi shawab.
Riyadh, 30 April 2024
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi.
Pukul 19.33 Waktu Arab Saudi (WAS)
Nach...ini tulisan khas Panjenengan Pak Mustajib...panjang...lebar...kupas tuntas...
BalasHapusMatur nuwun Pak...
Saya setua ini baru ngeh...tentang ibu kita Kartini dari seratan Panjenengan ini...
Barakallahu fiik Bapak...
Matur sembah nuwun, Bu Sri, atas silaturrahmi dan komennya. Sekadar menuangkan apa yang berkelebat dalam pikiran. Perkara itu benar, salah, khilaf, kuran dan lain sebagainya, nanti ada pembaca yang menyempurnakan. Saya welcome saran-saran perbaikan dari Panjenengan juga, Bu Sri. Salam sehat dan sukses selalu. Aamiin
BalasHapus