Oleh
Mustajib
SAMPAI pada Idhul Adha atau Idul Qurban tahun ini, apa
yang telah saya korbankan khususnya untuk keluarga dan keluarga besar di
sekolah-sekolah tempat saya mengabdi? Sebelum menjawab pertanyaan reflektif
tersebut, terlebih dahulu saya ingin berceritera sedikit tentang kapan, dimana
dan bagaimana saya sekeluarga merayakan Idul Adha tahun ini.
Pada Ahad, 14 Juni 2024, bertepatan dengan 10 Dzulhijjah
1445 H lalu, umat Islam khususnya di di Arab Saudi, melaksanakan Hari Raya Idul
Adha, atau lazim juga disebut Hari Raya Kurban. Hari raya ini dilaksanakan sehari
setelah hari Arafah pada 9 Dzulhijjah dalam bentuk sholat (sunnah) Idhul Adha
di masjid atau di tanah lapang. Saya sendiri, bersama keluarga, melaksanakan
sholat Idul Adha di Masjid Al-Kindi, Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh,
Arab Saudi, yang berjarak sekitar 400 meter dari tempat tinggal kami (Perumahan
Home Staff/PHS, 8.D, Dareen Street, Al Syafarat).
Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan pengumuman bahwa
pelaksanaan sholat Idul Adha dilaksanakan 10 sampai dengan 15 menit setelah
mtahari terbit (waktu shuruq). Dengan ketentuan ini masing-masing daerah di
Arab Saudi memulai sholat Idul Adha pada waktu yang berbeda-beda. Ada yang
waktunya dimulai pukul 05.34 waktu setempat (misalnya di Hail). Buraydah, Al
Zulfi dan Al Kharaj, masing-masing, secara berturut-turu memulai sholat Eidul
Adha pada pukul 05.26, 05.23, 05.14 Waktu Arab Saudi (WAS). Kaum Muslimin yang
tinggal di kota Riyadh memulainya pada pukul 05.19 WAS. Pelaksanaan sholat Idul
Adha di Masjid Al Kandi dimulai sesuai jadwal, berlangsung sekitar 30-an menit.
Sepulang dari masjid, pikiran saya tidak langsung tertuju
pada hidangan khas ala perayaan hari raya, karena memang kami tidak menyediakan
sebagaimana lazim kami lakukan saat di kampung halaman—di Mataram atau di
Lombok Tengah. Saya hanya teringat untuk memosting ucapan selamat idul Adha.
Dalam kartu ucapan digital itu, tertulis “Eid Adha Mubarak. May Allah accept
our sacrifice and grant us His Mercy: Selamat Hari Raya Idul Adha, Semoga
Allah menerima pengorbanan kita dan memberikan kasih sayangNya kepada kita”. Membaca ucapan dalam kartu ini, dalam hati
saya bertanya, “Apa bentuk pengorbanan saya selama ini? Apa yang telah saya
korbankan untuk keluarga inti, keluarga besar biologis, keluarga besar lembaga
tempat saya bekerja, lingkungan masyarakat, agama, bangsa dan negara?
Mungkin
banyak! Akan tetapi, jika saya ungkapkan semuanya, terutama diungkapkan dalam
bentuk tertulis dan diposting secara publik, sepertinya pengorbanan-pengorbanan
yang awalnya dimaksudkan sebagai bentuk ibadah yang dilanadasi keikhlasan tanpa
rasa riya’ tersebut akan menjadi “hambar”. Akan meninggalkan ampas semata dalam
pengertian pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak bernilai atau menyisakan
nilai ibadah lagi. Dengan kesadaran tersebut, dan tanpa keinginan mendapatkan
ampas-apasanya dari apa yang telah saya korbankan, saya ingin menyampaikan
“pengorbanan-pengorbanan” yang umum-umum saja, khususnya yang saya alami
sebagai salah seorang anggota aparatur sipil negara (ASN), dan yang terjadi di
lingkup lingkungan tugas saja. Pengungkapan pengorbanan ini bukan untuk
menyombongkan diri dan/atau memojokkan pihak-pihak tertntu. Melainkan, semoga
dengan mengeksponnya, kita semua bisa memetik pelajaran dari “pengorbanan-pengorbanan”
tersebut. Secara umum, bentuk pengorbanan saya adalah “pengorbanan perasaan”.
Perasaan,
sebagaimana termuat dalam le.wordpress.com, adalah aneka rasa yang
terletak di hati nurani insan. Perasaan-perasaan itu seperti rasa kasih, rasa
cinta, rasa benci, rasa jikik, rasa simpati, rasa marah, rasa dendam, rasa
rindu, rasa malu, rasa megah, rasa sombong, rasa takut, rasa serba salah, rasa
kecewa dan lain-lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa perasaan-perasaan yang
merupakan fitrah alami manusia itu tidak mudah untuk diasuh, dididik,
didisiplinkan, dikendalikan dan diurus karena ia ada yang positif dan ada yang
negatif. Yang positif hendak dilepaskan dan yang negatif hendak ditahan.
Melepaskan yang positif adalah satu pengorbanan. Menahan yang negatif adalah
juga suatu pengorbanan.
Pengorbanan perasaan atau korban perasaan mengandung
makna mengorbankan perasaan kita untuk orang lain, semisal kita menyukai
sesuatu dan sesuatu yang kita sukai itu disukai orang lain, maka kita
mengikhlaskan sesuatu itu dimiliki oleh orang lain. Pengorbanan seperti itulah
yang sesungguhnya dimaksud dengan korban perasaan (brainly.co.id). Pengorbanan seperti ini sepertinya masuk
dalam kategori melepaskan (perasaan) yang positif. Namun, korban perasaan dalam
konteks tulisan ini sepertinya lebih mengarah pada menahan yang negatif. Yakni,
menahan rasa marah, rasa kecewa dan rasa dendam.
Sejak tahun
1992 sampai dengan tahun 2002, saya melaksanakan tugas negara sebagai guru di
salah satu sekolah menengah atas (SMA) swasta, lalu mutasi ke SMA negeri (SMAN),
di Bali. Pada tahun 1998, saya mengikuti lomba karya tulis ilmiah Integrasi
Imtaq-IPTEK pada Mata Pelajaran Non-Agama Tingkat Nasional. Saat menerima
pengumuman dan hadiah sebagai pemenang Harapan II dari 366 peserta, selain
untuk diri saya sendiri, saya dititipi Surat Keputusan (SK) sebagai pemenang
untuk sekolah. Saat saya menyerahkan SK tersebut kepada kepala sekolah, sang
kepala sekolah tidak mengucapkan apa-apa seperti “Selamat, ya” dan/atau “Terima
kasih, ya” karena telah membawa ‘nama baik’ sekolah. Sebagai guru yang masih
relatif muda, terlebih-lebih bukan putra daerah, mengalami ‘perlakuan’ seperti
itu, ada perasaan lain yang bergejolak dalam hati. Perasaan yang sulit saya
ungkapkan secara detail dan jujur tapi insya Allah setiap orang bisa
merasakannya dalam kontek kejadian seperti itu.
Pada
pertengahan tahun 2022, saya bersama keluarga pulang kampung, ke Lombok. Karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu, saya memutuskan untuk tidak pulang ke
kampung asli di Lombok Tengah. Melainkan saya memutuskan untuk
melanjutkan tugas dinas di Kota Mataram. Terhitung sejak tahun 2002 sampai
dengan tahun 2014, saya bertugas di salah satu SMAN di Kota Mataram. Selama
kurang lebih 12 tahun berdinas di lembaga pendidikan ini, sudah barang tentu
berbagai perasaan muncul dan tenggelam seiring perjalanan waktu. Ada satu
“korban perasaan” yang sulit terlupakan hingga kini saat bertugas di satuan
pendidikan ini.
Di sekolah ini, saya pernah ditugaskan sebagai salah
seorang pemiba OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Sederhananya, pembina
OSIS menjadi “kaki tangan” wakil kepala sekolah (wakasek) bidang kesiswaan
dalam menjalankan tugas-tugasnya, terutama tugas-tugas keluar mendampingi siswa-siswi
berkegiatan. Dalam melaksanakan tugas-tugas ini, terkadang pembina OSIS
gemilang melaksanakan tugas yang diberikan. Terkadang setengah sukses. Dan
tidak jarang sedikit mengecewakaan.
Saat berhasil dengan baik atau setengah berhasil, sang
wakasek kesiswaan menunjukkan rasa senang dan melaporkan keberhasilan tersebut
kepada pimpinan (kepala sekolah). Laporannya lebih sering, untuk tidak
mengatakan selalu, mewujud seolah-olah itu keberhasilan (kordinasi) dirinya
semata. Tapi, sebenarnya buka’n itu yang mengorbankan perasaan. Melainkan, jika
terjadi keruwetan sedikit, sang wakasek kesiswaan itu (wakasek kesiswaan
tertentu, bukan seluruhnya yang telah menjadi ‘atasan langsung’ saya) memaki-maki,
kadang-kadang dengan kata-kata yang kurang sedap diucapkan dalam lingkungan
pendidikan. Sang wakasek menyalahkan pembina OSIS dan kesalahan itu dilaporkan
ke pimpinan dengan mengambinghitamkan pembina OSIS. Padahal, yang dipersepsikan
sebagai kesalahan itu tidak luput dari kesalahan sang wakasek kesiswaan itu
juga.
Sejak tahun 2015 hingga tulisan ini dibuat (Juni 2024),
saya diamanahi sebagaia kepala sekolah. Selama menjabat sebagai kepala sekolah
ini, setidaknya ada duka kali saya mengalami yang namanya “korban perasaan”
itu.
Yang pertama terjadi sekitar tahun 2018 atau 2019. Pada tahun 2018, terjadi bencana alam gempa bumi yang cukup dahsyat melanda Pulau Lombok, khususnya Pulau Lombok bagian timur laut di kedalaman 24 km. Gempa besar pertama (29 Juli 2019), berkekuatan 6,4 Mw. Tujuh hari kemudian (5/8) disusul gempa besar dengan kekuatan 7.0 Mw. Guncangan kedua gempa ini tak ayal memporak-porandakan lombok bagian utara, timur laut, termasuk berimbas ke wilayah Kota Mataram. Akibat goncangan gempa tersebut, banyak bangunan sekolah yang rusak, minimal retak-retak yang membahayakan.
Karena gedung sekolah retak-retak serius, dan
untuk mengantisipasi korban jiwa akibat guncangan gempa berikutnya, para siswa
dibelajarkan di ruang kelas. Dibuatkan tenda-tenda di halaman sekolah. Kondisi
yang tidak lumrah serta terkadang becek karena hujan membuat suasana kegiatan
belajar mengajar (KBM) menjadi tidak kondusif. Sekolah tempat saya bertugas termasuk sekolah yang mengalami situasi
seperti ini.
Untuk
mengembalikan suasana belajar yang kondusif, tenang dan nyaman, tidak jarang
para guru, junior maupun senior, secara agresif meminta kepala sekolah untuk
berkordinasi segesit mungkin dengan pejabat-pejabat di Dinas Pendidikan agar
gedung sekolah yang rusak segera direhab. Mereka menyampaikan keprihatinan
dengan kondisi KBM yang ada. Mereka ingin segera kondisinya normal kembali.
Permintaan mereka saya laksanakan dan berhasil. Apa yang terjadi berikutnya
adalah hampir sebagian besar para guru senior khususnya, tidak ada yang
bersedia terlibat secara langsung dalam kegiatan rehab, misalnya menjadi ketua
maupun anggota panitia rehab. Entahlah. Di sinilah “korban perasaan” sebagai
pimpinan itu terjadi. Di satu sisi, ikut sedih atau prihatin dengan kondisi
lingkungan belajar siswa. Di sisi lain,
prihatin dengan sikap guru-guru senior yang tidak mau terlibat dalam kegiatan
rehab. Sangat memakn perasaan!
Di kesempatan
berbeda, ada fenomena yang cukup “menggelikan”, tapi memakan perasaan juga.
Beberapa kali saya memiliki ide untuk memajukan sekolah. Ide-ide itu saya
utarakan secara personal kepada anggota tim manajemen tertentu. Kami
diskusikan. Nah, di kesempatan-kesempatan formal, misalnya dalam rapat-rapat,
sang anggota tim tersebut mengungkapkan ide terbut dengan mengawali
pernyataannya, “Menurut pendapat atau saran saya... bla bla bla”. Jika sidang
pembaca mengalamai fenomena erupa itu, apakah perasaan pembaca biasa-biasa
saja?”
Diungkapkannya
fenomena-fenomena di atas tidak dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan atau
memojokkan pihak-pihak tertentu yang menjadi pelaku “penggerogot perasan” itu. Pengungkapan
ini dimaksudkan untuk mengajak pihak-pihak tersebut (jika masih ada atau masih
hidup) untuk lebih bersikap arif atau bijaksana : yo ojo ngono (bahasa Jawa, ya
jangan begitulah!). Yang perlu diapresiasi, walau dengan sekadar ucapan
“selamat dan/atau terima kasih, ya apresiasilah. Ketika ada rasa empati
terhadap “nasib” yang sedang mendera (para) siswa, ya, berpartisipasilah ketika
sudah ada solusinya. Tidak hanya sebagai penonton, terlebih-lebih sebagai sang
“pengomen”. Pun demikian, insan-insan pendidian yang rata-rata sarjana, yang
sudah terbiasa dengan iklim dan etika keilmuan, bersikaplah yang jujur, alias
hindarilah sikap plagiasi dalam ucapan maupun tindakan.
Semoga
pengungkapan bentuk-bentuk pengorbanan di atas memberikan pelajaran walaupun mungkin
tidak sebesar pelajaran yang didapat dari pengorbanan Nabi Ibrahmin AS kepada
Yang Maha Pengasih dan Pemberi – Allah azza wajalla.
Riyadh, 28 Juni 2024.