Jangan Pernah Remehkan Sastra dalam KBM*
Oleh
Mustajib
HARIAN Umum Lombok Post melalui
anak perusahaan Radar Lombok (22/1/2021)
pernah menurunkan berita menarik. Dikatakan menarik antara lain karena
berita tersebut memunculkan contoh-baik penghormatan terhadap sastra atau
karya-karya sastra yang selama ini keberadaannya sering diremehkan atau
diabaikan, termasuk oleh orang-orang terdidik di lingkungan sekolah maupun madrasah.
Diberitakan bahwa dua orang siswi MAN 1 Lombok Timur (Lotim), Rina
Fajriati dan Tria Mediana, masing-masing menjadi Juara I dan Juara III Lomba
Penulisan Cerpen (2021) yang diadakan STIKES Yarsi Mataram.Cerpen pemenang
pertama berjudul “Mendayung Karya Ayah” dan pememang ketiga bertajuk “Just a Normal Human”. Kedua cerita
pendek (cerpen) ini dijanjikan akan dibukukan oleh Bapak Nurul Wathoni selaku Kamad (Kepala Madrasah).
Sebagai pendidik dan sekaligus peminat sasatra, berita ini cukup menarik bagi penulis,
paling tidak karena dua alasan.
Pertama, hadirnya kedua cerpen tersebut mencerminkan indeks budaya baca
dan budaya tulis di MAN 1 Lotim, setidaknya bagi kedua penulisnya. Bagi pelaku
sastra, berlaku keyakinan bahwa kemampuan menghasilkan karya sastra yang
berkualitas, berbobot, atau unggul (sehingga bisa sebagai pemenang) seperti itu
bukanlah perkara gampang, bukan sim
salabin ada kadabra atau semudah membalik telapak tangan. Melainkan,
berlaku prinsip‘Rome was not built in one
night (Roma tidak dibangun dalam satu malam). Diperlukan kerja keras.
Untuk melahirkan karya sastra yang berbobot, diperlukan kerja keras,
dibutuhkan kerja dan latihan yang berdarah-darah. Untuk bisa menulis cerpen
yang bisa memikat dan memesona perhatian anggota dewan juri, sudah bisa
dipastikan bahwa Rina Fajriati dan Tria Mediana telah berlatih menulis
berkali-kali. Keduanya pasti telah menjadikan menulis sebagai sebuah kebiasaan dan
bahkan sebagai sebuah budaya -- sesuatu kegiatan yang terencana, terpola dan
berkelanjutan.
Tentu saja ‘menulis’ dalam konteks di atas bukan sekadar kegiatan corat-coret,
gores-menggores atau merangkai huruf-huruf. Melainkan, menulis dalam pengertian
menarasikan suatu ide atau gagasan sesuai kaidah yang berlaku. Dan untuk bisa
menarasikan suatu gagasan secara berkelanjutan diperlukan budaya lainnya yaitu
‘budaya baca’. Dalam dunia kepenulisan, berlaku analogi (maaf) ‘tidak mungkin
kencing banyak tanpa minum yang banyak’. Artinya, seseorang tidak mungkin
produktif menghasilkan tulisan tanpa banyak membaca.
Munculnya Rina Fajriati dan Tria Mediana sebagai pemenang lomba menulis
cerpen mencerminkan baiknya budaya baca dan budaya tulis kedua siswi tersebut.
Baiknya budaya baca dan budaya tulis kedua siswi tersebut, dalam batas-batas
tertentu, merepresentasikan baiknya pengembangan budaya baca dan budaya tulis
di almamaternya (MAN 1 Lotim). Pemahaman semacam ini, baik secara tersurat
maupun tersirat, selaras dengan pemikiran sastrawan dan sekaligus esais kawakan
Jamal D. Rahman.
Dalam kata pengantar buku SBSB
(Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) 2015, Rahman menulis bahwa indeks budaya
baca dan budaya tulis suatu masyarakat pertama-tama sangat ditentukan oleh
sejauh mana budaya baca dan budaya tulis itu sendiri ditanamkan melalui dunia (lembaga)
pendidikan. Dapat disimpulkan, baiknya budaya baca dan budaya tulis yang
dimiliki Rina Fajriati dan Tria Mediana dipengaruhi oleh baiknya budaya baca
dan budaya tulis yang ditanamkan di MAN 1 Lotim.
Pesan imperatif dari event dan
konsepsi sastra ini adalah semua satuan pendidikan – baik sekolah umum maupun
yang berbasis keagamaan -- di segala jenis dan jenjang diharapkan
memaksimalkan ikhtiar-ikhtiar konkret untuk benar-benar menumbuhsuburkan budaya
baca dan budaya tulis dalam memperkuat kemampuan literasi peserta didik,
terutama di masa pandemi covid-19 dulu, yang kegiatan belajar mengajarnya (KBM)
didominisai oleh kemandirian siswa dalam mendalami setiap materi yang
diberikan. Pemaksimalan tersebut lebih relevan lagi setelah masa pandemic Covid-19
dimana KBM sudah berlangsung normal seperti sebelumnya.
Alasan kedua terkait dengan lesson-learned
(contoh-baik) berupa pilihan sikap yang diambil oleh kepala MAN 1 Lotim. Sebagaimana
telah diungkapkan di atas bahwa Kepala MAN 1 Lotim, Nurul Wathoni, berjanji untuk
membukukan kedua cerpen tersebut. Keputusan atau kebijakan ini sangat tepat dan
berharga. Sangat tepat karena kebijakan ini merupakan upaya riel untuk memenuhi
harapan masyarakat. Jamal D. Rahman (2015) menegaskan bahwa usaha untuk
menumbuhkan budaya baca dan budaya tulis merupakan hal mendesak dilakukan dalam
rangka (‘mempercepat’) kemajuan bangsa dalam berbagai bidang.
Dikatakan sangat berharga karena kebijakan tersebut membawa paling tidak
dua implikasi penting. Pertama adalah bahwa kebijakan tersebut akan mendorong
atau kian memotivasi Rina Fajriati dan Tria Mediana pada khususnya dan
siswa-siswi lainnya pada umumnya untuk terus mengembangkan kemampuan literasi baca
tulis. Literasi baca tulis merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk membaca,
menulis, mencari, menelusuri, mengolah, dan memahami informasi untuk
menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan,
mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi di lingkungan
sosial (lihat lpmplampung.kemdikbud.go.id).
Implikasi lainnya, kedua, yang lebih penting, adalah bahwa kebijakan
humanis tersebut merupakan salah satu realisasi konkret penghormatan,
penghargaan atau apreasisasi terhadap marwah atau kewibawaan karya sastra.
Selama ini keberadaan sastra dan/atau karya-karya sastra di sekolah atau
madrasah secara umum cenderung diremehkan, atau tidak mendapat perhatian
sebagaimana mestinya. Hadirnya kegiatan ‘SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya)’
yang pertama kali di-launching tahun 2000 merupakan upaya untuk
memosisikan (kegiatan-kegiatan atau karya-karya) sastra pada tataran yang lebih
signifikan, lebih bermarwah. Ikhtiar ini didorong karena kebermanfaatan
kegiatan-kegiatan dan/atau karya-karya sastra itu sendiri, yang sangat relevan
dengan tuntutan akademis, nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan kondisi
kekinian (masa pandemik covid-19).
Secara akademis, Jamal D. Rahman (2015) mengharapkan para pendidik untuk
mendorong para siswa membaca dan menulis karya sastra sebanyak mungkin. Rahman
meyakini bahwa karya sastra dapat membantu siswa menguasai suatu bahasa,
termasuk tatabahasa dan kosa katanya. Selain membantu penguasaan bahasa, karya
sastra juga dapat menstimuli dan menumbuhkembangkan budaya baca dan budaya
tulis. Pertanyaannya, di masa pandemik covid-19 ini, di mana siswa lebih banyak
“beraktivitas” (bekerja, membaca, menulis dan sejenisnya) secara mandiri alias
tidak terlalu intens mendapat bimbingan para bapak ibu guru, jenis atau genre karya sastra yang manakah lebih
direkomendasikan kepada para siswa untuk diakrabi atau dieksplor?
Jawabannya sangat tergantung pada kondisi atau tingkat kemampuan siswa.
Untuk jenjang SMA sederajat (MA/SMK), karya sastra jenis apa saja bisa
dijadikan fokus kegiatan. Para siswanya relatif sudah terbiasa membaca
karya-karya sastra yang relatif panjang dan kompleks. Penugasan membaca dan
menulis cerpen sepertinya bukanlah suatu masalah yang besar. Juga bukanlah masalah
yang serius jika menugaskan untuk membaca – misalnya – novel dan kemudian
meminta para siswa membuat ringkasan ceritanya (synopsis). Bapak ibu guru Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia pasti sangat faham kondisi atau indeks kemampuan
siswa-siswinya masing-masing.
Namun untuk para siswa setingkat SMP/MTs ke bawah (SD dan MI), pilihan
karya sastra yang sepertinya lebih sesuai adalah karya sastra berupa puisi,
yang panjang dan tingkat kesulitannya disesuaikan dengan level kognisi dan pengalaman siswa. Sependek pengamatan dan
pemahaman penulis, cukup banyak puisi pendek dan sedang panjangnya, dengan
tingkat kompleksitas yang masih bisa “dicerna” serta mengandung nilai-nilai
moral yang luhur, yang sangat cocok untuk menopang penguatan nilai-nilai
karakter siswa sebagaimana amanat Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018.
Dalam Permendikbud tersebut dinyatakan bahwa Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) merupakan gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan
pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah
hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan
pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional
Revolusi Mental/GNRM (lihat ainamulyana.blogspot.com).
PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam
pendidikan karakter yang meliputi nilai-nilai relijius, jujur, toleran,
disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab.
Nilai-nilai tersebut merupakan pengejawantahan lima (5) nilai utama yang
meliputi religiusitas, nasionalisme, kemandirian, gotong royong dan integritas
yang terintegrasi melalui kurikulum dan terefleksikan dalam kegiatan
intrakurikuler, kokurikuler maupun ekstrakurikuler.
Kelima nilai tersebut dapat dipupuk dengan membaca secara baik karya-karya
sastra berupa puisi. Terkait dengan religiositas, Romo Mangunwijaya (1982: 44)
meyakini bahwa setiap karya sastra – termasuk puisi – yang berkualitas selalu
berjiwa relijius. Senada dengan pengertian tersebut, Radar Panca Dahana (Jawa Pos, 6/3/94) mendefinisikan
religiositas dengan mengatakan, “Jika sebuah karya sastra menumpahkan
perhatiannya pada manusia, apa pun jenisnya, apa pun gaya bahasanya, karya
sastra tersebut adalah religius pada dasarnya.”
Merujuk pada pengertian di atas, puisi singkat karya Didik Siswantono
berjudul “Ibu Tua Penjula Kopi” termasuk puisi religius. Larik-larik puisi
tersebut berbunyi : Ibu tua duduk sendiri
di ujung stasiun / bau kopi di cangkirnya riuh bertanya / siapakah pemenang
pemilihan presiden / pada tanggal 9 Juli yang segera tiba // Sementara bau
kopinya riuh sendiri / Dia bertanya sederhana saja: / bagaimana bisa makan esok
pagi // Ibu tua duduk sendiri di ujung stasiun// (Kemdikbud RI, 2015 : 69).
Nilai-nilai nasionalisme, gotong royong, integritas bahkan religiositas begitu
kental dalam puisi “Sajak-sajak Kelahiran” karya Abdul Hadi W.M. berikut : Jangan pandang kulit dan ras / Kita ini
suling dari rumpun bambu yang satu / Pandang aku lebih dahulu sebagai manusia /
Baru kemudian sebut aku muslim Melayu atau Jawa // …. / Jangan bohongi aku:
Rumah besar ini / Keluarga besar ini kita bangun bersama / Jangan bohongi aku:
Tiang-tiangnya / Dapat tegak karena tetesan keluh kesah / kita semua // jangan
bohongi aku : Kami bukan orang asing / Di negeri kami, juga agama dan cita-cita
kami / Kami telah lama mencangkul dan menanam / benih di sini // Pun kita tahu,
seluruh bumi milik Tuhan semesta / …. // (Horison, XXXIV/9/1999: 30 – 31).
Tentang perlunya sikap mandiri, para siswa bisa diajak “berselancar”
membaca puisi Taufiq Ismail berjudul “Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang”
dengan panjang 73 baris. Pada baris ke-56 sampai dengan ke-60, tergores
larik-larik : “Anak-anak, bapak bilang
tadi / Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri / Tapi tadi tidak ada kosa
kata lain sama sekali / Kalian cuma mengulang bolak balik yang itu-itu juga /
Itu kelemahan kalian yang pertama / …. //(Kemdikbud RI, 2015 : 9).
Dari paparan-paparan di atas terlihat jelas ruginya mengabaikan (karya-karya)
sastra dalam KBM di masa pandemik covid-ini karena selain indah atau menghibur
(dulce), (karya-karya) sastra sangat
bermanfaat (utile) terutama untuk
pengembangan budaya baca, budaya tulis, dan nilai-nilai pendidikan karakter
yang esensial bagi peserta didik di masa kini dan masa datang.
*Pernah dimuat HU Lombok
Post, 4
Februari 2021, dengan judul “Jangan Remehkan Sastra dalam KBM Masa Pandemi Covid-19”
Amazing, memotivasi dan membiasakan praktik baik, akan menjadi modal utama untuk terus berkarya.
BalasHapusMatur sembah nuwun atas anjangsana, apresiasi dan motivasinya, Bun. Semoga tetap sehat, panjang umur dan terus menebar kebermanfaatan. Aamiin
HapusMantab. Mari kita dukung budaya baca dan tukis uang maaih rendah femi mengangkat kemajuan Indonesia
BalasHapusMatur sembah nuwun juga, Abah Inin, atas anjangsana, apresiasi dan motivasinya, Salut, tak pernah berhenti "ngompori nyala berliterasi. Semoga tetap sehat, panjang umur dan terus "ngomporri" kebermanfaatan. Aamiin
Hapus