Sesungguhnya Guru Dirindu Siapa?


                                                    Dokumen : Guruinovatid.id

Sesungguhnya Guru Dirindu Siapa?

Oleh 

Mustajib

 

Agung Nugroho Catur Saputro pernah menulis sebuah artikel berjudul “Menjadi Sosok Pendidik yang Dirindukan”. Tulisan tersebut terkompilasi dalam buku Guru Pembelajar, Bukan Guru Biasa: Membangun Kompetensi Guru Profesional Lintas Generasi yang Menginspirasi dan Menggerakkan (Sahabat Pena Kita, 2020).

Dalam tulisan tersebut, penulis coba mendeskripsikan sosok guru atau pendidik di lingkungan sekolah yang dirindukan oleh anak didiknya di era terkini. Secara umum dirumuskan bahwa guru yang dirindu adalah guru yang mampu memahami dan mewujudkan tuntutan era disrupsi melalui proses pembelajaran di dalam maupun di luar kelas sehingga pada saatnya nanti para siswa tersebut dapat eksis sebagai warga masyarakat di era disrupsi.

Era disrupsi dimaknai sebagai era kompetisi dan era multiskills (polikeahlian) yang ditandai dengan kemajuan yang pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang sangat signifikan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk berdampak pada kemapanan tatanan dan paradigma tradisional.

Teridentifikasi oleh Agung Nugroho Catur Saputro bahwa era disrupsi membutuhkan kemampuan dan keterampilan pokok antara lain kemampuan penguasaan terknologi informasi dan komunikasi (TIK), penguasaan bahasa asing (pendudkung kemampuan berkomunikasi), jiwa kompetitor, kemandirian, kemampuan penalaran, berpikir kritis, kretaif, inovatif dan kemampuan bekerjasama dalam teamworks.

Bagi seorang kepala sekolah, sangat tidak sulit menemui guru ideal era disrupsi itu, terutama di saat (para) kepala sekolah melakukan supervisi kunjungan ke kelas yang idealnya dilaksanakan minimal sekali dalam satu semester. Pada saat itu, para guru umumnya sukses besar menunjukkan performa terbaiknya. Yang agak sulit bagi kepala sekolah adalah menemukan paralelitas antara realitas praktik pembelajaran di kelas dengan realitas kualitas pembelajaran di “Rapor Pendidikan Sekolah (RPS)” suatu satuan pendidikan.

Pernah ada seorang kepala sekolah “mengaku” bahwa ia pernah sangat puas melihat performa guru-gurunya mengelola proses pembelajaran di kelas saat supervisi, namun cukup “kecewa” melihat capaian poin “Kualitas Pembelajaran” di RPS.  Menurut penilaiannya, performance para guru saat supervisi tergolong “ excellent ”, luar biasa bagusnya. Namun, setelah RPS dirilis, status kualitas pembelajarannya berwarna “orange” alias kategori “sedang’.

Yang lebih mengiris hati kepala sekolah tersebut adalah redaksi ‘Definisi Capaian (DC)” yang berbunyi, “Pembelajaran mengarah pada peningkatan kualitas yang ditunjukkan dengan suasana kelas yang mulai kondusif dan adanya dukungan afektif serta aktivasi kognitif dari guru”. Hatinya yang nyeri terluka makin terasa disiram air garam setelah melihat perubahan skor dari tahun sebelumnya yang memperlihatkan penurunan dari level “menengah” ke level “menengah bawah”.

Di tengah-tengah kekalutan perasaan itu, sang kepala sekolah berefleksi sendirian dan memformulasi kesimpulan tentatif (sementara) bahwa kualitas pembelajaran tidak mungkin sejelek itu jika dalam aktivitas KBM sehari-hari para guru mengajar dan mendidik secara konsisten seperti yang dilakukan pada saat disupervisi. “Cara guru ngajar pasti tidak konsisten, hanya bagus atau dibagus-baguskan saat ada supervisi saja,” (mungkin begitu) simpul kepala sekolah.

Ketika hasil RPS sub kualitas pembelajaran itu dipermaklumkan dan diketahui oleh para guru, sebagian dari mereka bereaksi. Bahkan mereka “meragukan” validitas hasil RPS yang penilaiannya berbasis hasil survey (AN, khususnya Survey Lingkungan Belajar/Sulingjar) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendibudristek) itu.  “Ketidakpercayaan” mereka antara lain terbungkus melalui pernyataan-pernyataan berikut.

Pertama, mereka (tidak semua guru) “merasa” bahwa mereka telah melaksanakan proses pembelajaran secara konsisten seperti yang terlihat pada saat disupervisi. Kedua, survey AN berbasis sampel. Untuk jenjang sekolah dasar (SD), misalnya, peserta survey diwakili oleh siswa-siswi kelas V. Kelas-kelas di jenjang SD didampingi oleh seorang guru kelas. Aapakah penilaian siswa-siswi kelas V terhadap guru kelasnya yang satu orang itu cukup fair dipakai untuk menjustifikasi performa seluruh guru SD dari kelas I sampai kelas VI? Dan ketiga, fakta di lapangan (setelah ditanya), banyak siswa yang menjadi perwakilan survey tidak faham dengan maksud, arah dan/atau tujuan pertanyaan.

Harus diakui, to a certain extent and/o point, khususnya poin ke-2, logikanya berterima (acceptable). Namun, tidak bisa juga diragukan sepenuhnya validitas (kebenaran) respon siswa karena memang siswa-siswi perwakilan itulah yang tahu persis praktik-praktik pembelajaran sehari-hari di balik pintu kelasnya.  Bisa jadi, apa yang disampaikan oleh siswa sebagai respon terhadap pertanyaan-pertanyaan survey jujur adanya. Sangat terbuka kemungkinan guru kelas yang dinilai oleh siswa-siswa itu bukan merupakan guru yang mereka rindukan.

Keberadaan atau ekspektasi guru yang dirindukan itu mengapungkan sebuah pertanyaan enigmatis (maha misterius). Yakni, guru yang dirindukan itu sesungguhnya dirindukan oleh siapa : oleh pemerintah, ahli pendidikan, kepala sekolah, siswa, masyarakat, atau oleh semua pihak? Atau, dirindukan oleh era disrupsi itu sendiri? Entahlah!

Yang pasti, karena masih dalam suasana hari guru, saya ingin mengucapkan “Selamat Hari Guru Nasional 2023. Semoga dan selamat terus berikhtiar menjadi ‘Guru yang Dirindu’”.

 

Riyadh, 29 November 2023
Diplomatic Quarter, Riyadh, Arab Saudi
Pukul 18.37 Waktu Arab Saudi (WAS)

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama