Dokumen : Progres.id
Guru Profesional Masih Butuh Dihargai dengan Uang?
Oleh Mustajib
Jangankan siswa-siswi yang sejatinya masih belia,
masih butuh perhatian yang ukup dan masih haus dengan penghargaan edukatif yang
proporsional, seorang guru senior pun masih merasa sangat tersanjung saat
mendapat apresiasi dari seorang maha guru atas pekerjaannya.
Pagi ini, Selasa 28 November 2023, pukul 04.20 Waktu
Arab Saudi (WAS), saya – yang notabene seorang guru berusia di atas 50-an
tahun, merasa “berbunga-bunga” setelah mendapat apresiasi dari seorang guru
besar atas karyaku. Gimana ceritanya?
Pada Senin 27 November 2023, saya mengirim tulisan ke
WhatsApp Group (WAG) “Sahabat Pena Kita (SPK)" yang anggota-anggotanya
antara lain sudah berstatus “professor” (Prof.) atau guru besar, sebuah gelar
atau capaian akademis tertinggi di perguruan tinggi. Tulisan itu bertajuk “Guru
Berhati Lintas Sekolah”.
Dalam tulisan sepanjang 717 kata itu, saya coba
memotret laku nyata ( real action) seorang guru bernama Haji Lalu Rahman Ansory
(Alm) yang hatinya tergerak secara lintas sekolah untuk menyelamatkan
keberlanjutan pendidikan seorang anak petani miskin. Selancar pendidikan anak
itu nyaris terjungkal di hari ketiga atau keempat setelah menginjakkan kakinya
di sebuah sekolah menengah pertama (SMP) negeri di desanya.
Di hari itu, anak itu disentak oleh pengumuman tentang
besaran uang sumbangan pengembangan pendidikan (SPP) yang harus dibayar setiap
bulan. Dan yang lebih menyudutkan lagi keberadaanya adalah harga kain seragam
putih biru yang harus dibayar untuk memilikinya. Karena orangtuanya tidak mampu
menjangkaunya, anak itu dipaksa berhenti sekolah. Dan sejak keesokan harinya,
anak itu mulai ikut orangtuanya – tepatnya, bapaknya – ke sawah untuk turut
membantu bekerja.
Cerita mandeknya laju pendidikan anak itu akhirnya
sampai juga ke telinga Haji Lalu Rahman – demikian beliau akrab disapa. Guru
tersebut bukan guru yang mengajar di sekolah dasar (SD) tempat anak itu
mengecap pendidikan sebelumnya. Dan guru olahraga tersebut juga bukan guru yang
mengajar di griya pendidikan yang akan dimasukinya (SMP). Intinya, guru itu
bukan dari sekolah anak itu. Dan karenanya, anak tersebut bukan muridnya secara
langsung.
Namun demikian, sepertinya cerita pilu nasib
pendidikan anak petani itu langsung menyentuh sanubari guru itu. Akhirnya,
walaupun bukan murid di sekolahnya, melalui yayasan yatim piatu yang
dikelolanya, guru itu mengulur bantuan kemanusiaanya, yakni dengan bersurat ke
(kepala sekolah?) SMP itu. Secara kebetulan anak itu telah lama ditinggal mati
oleh ibunya. Ia memang piatu. Surat itu berbuah hasil.
Alhasil, anak itu “disuruh” (diperbolehkan) masuk lagi
tanpa harus membayar uang SPP dan membeli seragam di sekolah. Ia diperkenankan
membeli seragam di luar sekolah sesuai ketersediaan budget atau kemampuan
finansial saat itu. Akhirnya, anak itu – yang kini sedang menahkodai Sekolah
Indonesia Riyadh (SIR) insha Allah untuk periode 2021 – 2024 – berhasil
melanjutkan biduk pendidikannya.
Pemuatan tulisan tersebut langsung mendapat respon –
yang saya anggap sebagai ‘apresiasi’ – antara lain dari Prof. Ngainun Naim,
salah seorang anggota WAG dan Dewan Pembina SPK. “Catatan menarik. Memberikan
perspektif baru yang mencerahkan,” komennya. ‘Apresiasi’ yang insha Allah
keluar dari lubuk hati yang tulus nan ikhlas ini membuat kelopak kebahagian
saya makin bermekaran. Ternyata, guru “sesenior” seperti saya ini masih butuh
apresiasi!
Fenomena guru (senior, apalagi junior) yang masih
perlu mendapat suntikan apresiasi ini mengingatkan saya pada cerita salah
seorang rekan kepala sekolah yang sekolahnya diakreditasi pada 31 Maret sampai
dengan 4 April tahun 2023 lalu. Walaupun status akreditasinya dapat
dipertahankan (Peringkat ‘A’), namun poinnya turun. Salah satu penyebab
penurunan itu, mungkin, karena kepala sekolahnya kurang atau belum memberikan
penghargaan atau apresiasi kepada guru-gurunya.
Asumsi tersebut tampaknya terjustifikasi melalui
catatan rekomendasi assessor yang antara lain berbunyi, “(bersama Komite
Sekolah) Kepala Sekolah juga dapat membuat program pemberian penghargaan kepada
guru-guru yang berhasil meningkatkan diri atau memperbaiki kinerja mereka
setiap tahunnya berdasarkan refleksi dan evaluasi yang sudah dilakukan oleh
guru, agar mereka termotivasi menjadi lebih baik setiap tahunnya”.
Atas dasar rekomendasi itu maka sang kepala sekolah
itu bersama pengurus komite di sekolahnya memberikan “paket penghargaan” kepada
seluruh gurunya – yang sebagian besar sudah tersertifikasi (profesional) --
selepas upacara bendera peringkatan Hari Guru Nasional Tahun 2023 yang
dilaksanakan pada Minggu 26 November 2023 lalu. Paket tersebut berisi satu stel
pakaian seragam olah raga dan uang insentif – yang kalau dirupiahkan – hampir
satu juta rupiah. Dilihat dari senyumannya – melalui foto-foto kegiatan saat
menerima bingkisan -- para guru tersebut tampak senang. Terlebih-lebih,
mungkin, masih menurut penuturan kepala sekolah itu, komite berharap bisa
memberikan jumlah yang lebih besar lagi di tahun(-tahun) berikutnya.
Mendengar cerita “suara hati” sang kepala sekolah
tersebut, saya teringat tulisan Bahrus Surur-Iyunk yang berjudul “Menjadi Guru
Sepanjang Waktu (2)”, yang terhimpun dalam buku Guru Pembelajar, Bukan Guru
Biasa: Membangun Kompetensi Guru Profesional Lintas Generasi yang Menginspirasi
dan Menggerakkan (Sahabat Pena Kita, 2020). Di dalam tulisan tersebut Bahrus
Surur-Iyunk menyindir sebagian guru profesional (tersertifikasi) yang alih-alih
makin gesit mendidik para siswanya setelah mendapat tunjangan sertifikasi,
malah semakin lemot, makin loyo.
Secara satir Bahrus Surur-Iyunk menulis, “Saat musim
pemberkasan dan pengurusan sertifikasi, rasanya semua harus segera selesai hari
itu juga. Tapi, kalau sudah waktunya mengajar di kelas, guru kekinian (tentu
tidak semuanya) lambatnya minta ampun. Kepedulian terhadap siswa juga seperti
luntur ditelan sertifikasi”. Kecenderungan ini amat bertentangan dengan petuah
bertuah dari Ustadz Chairuman Ilham, Lc., sang guru dari Bahrus Surur-Iyank
yang mengatakan dan melakoni prinsip, “Jangan sekali-kali mengejar uang.
Biarlah uang itu yang mengejarmu. Caranya? Belajarlah (“Bekerjalah”,
“mengajarlah”) dengan sungguh-sungguh dan tulus ikhlas”.
Apakah bonus uang dari komite sebagaimana diceritakan
sang kepala sekolah di atas merupakan entitas yang mengejar atau dikejar oleh
para guru profesional penerima? Wallahu’alam. Hanya guru-guru tersebut yang
lebih tahu. Apapun eksistensinya, masih belum terlalu urgent untuk saya
ketahui. Yang sangat urgent bagi saya adalah memberi ucapan “Selamat Hari Guru
Nasional Wahai Guru-guru Profesional. Periharalah marwah profesionalitasmu!”
Diplomatic Quarter, Riyadh, Arab Saudi
Pukul 20.01 Waktu Arab Saudi (WAS)