Oleh
Mustajib
Ada perasaan menyesal setelah membaca, paling tidak,
tiga tulisan terbaru dari Yth. Pak Doktor Much Khoiri, yang akrab disapa Master
Emcho. Ketiga tulisan yang dimaksud adalah “Proses Menulis Kreatif Itu Tidak
Instan” (17/11/23, “Menuju Kemampuan Optimal dalam Menulis”(3/12/2023) dan
“Persistensi dalam Menulis” (3/12/2023).
Dilihat dari judulnya, pesan yang hendak disampaikan
dalam ketiga tulisan tersebut cukup jelas, atau bisa “diraba-raba” (being
grasped). Tulisan pertama memutlakkan bahwa butuh waktu yang panjang,
kesabaran dan keikhlasan yang berlimpah, serta semangat perjuangan tiada
berujung dalam berproses untuk dapat menghasilan tulisan-tulisan yang kreatif.
Tulisan kedua me-requests penulis perlu niat
dan ikhtiar nyata untuk menggapai kemamuan optimal – sesuai kondisi sepesifik
terbaik dirinya -- dalam menulis dengan cara menaikkan grade (kualitas)
melalui beragam cara antara lain seperti terus berorientasi pada peningkatan
kualitas tulisan, mengembangkan keunikan masing-masing individu penulis, dan
meningkatkan volume (kuantitas) menulis alias memperbanyak latihan menulis.
Tulisan ketiga mengirim pesan bahwa untuk menjadi
penulis dengan capaian tertinggi, seseorang harus memiliki persistensi, yakni
kemampuan yang kukuh atau daya tahan yang kuat dalam menulis secara terus menerus dengan cara membangun
impian yang kuat, motto yang sedahsyat mungkin serta semangat yang terus
membara.
Seandainya saya persistant (konsisten,
istiqomah) menulis sejak tahun 1997an, mungkin tulisan-tulisan saya sudah
mencermintan kualitas yang baik atau bahkan – meminjam kata-kata Master Emcho
-- saya sudah mereguk “momentum kecanduan menulis” yang ditandai dengan
kemampuan menulis (hampir) setiap hal atau momen yang dijumpai dan merasa
“berdosa” (salah) jika tidak menuliskannya.
Kalau tidak salah ingat, di tahun 1997an, tepatnya
sebelum krisis ekonomi (krismon) melanda Indonesia (Juli, 1997), saya sudah
berhasil memublikasikan minimal satu artikel (pendidikan) di rubrik “Opini” di
sebuah koran nasional yang terbit di Bali. Setelah krismon datang, rubrik yang
memberi honorarium lumayan itu hilang.
Karena kualitas belum “kompetitif”, saya belum bisa
menembus koran-koran nasional yang terbit Jawa pada umumnya, dan Jakarta pada
khususnya. Kegiatan menulis terhenti karena belum menguasai genre atau
jenis tulisan lain. Juga karena tidak istiqomah terus berproses dalam menulis.
Hikamh dari kemadegan itu, saya kembali ke minat awal,
yakni membaca sastra. Alhamdulillah, di kurun waktu awal tahun 2000 sampai
pertengahan tahun 2001 saya akhirnya dapat memublikasikan belasan esei sastra
dan belasan prosa liris di ruang “Sastra dan Budaya” Bali Post Minggu (BPM).
Termasuk juga memublikasikan “ the only one ” cerpen remaja di salah satu
majalah Ibukota (Jakarta). Sayang seribu
sayang, momentum ini tidak bisa saya pertahankan karena lebih suntuk dengan
“kesibukan” mengurus urusan perut yang sangat urgen seiring penambahan jumlah
keluarga. Terhitung sejak akhir tahun 2001, boleh dikatakan “vakum”, atau “mati
suri” alias krisis tulisan.
Seandainya lebih awal bertemu dan bergabung dengan
“Sahabat Pena Kita (SPK)”, ceritanya bisa lain. Tapi mungkin benar kata-kata
bijak “Sesuatu (yang baru) akan datang pada tempat, waktu dan bersama
orang-orang yang tepat”. Semoga!
Riyadh, 4 Desember 2023, pukul 12.36 Waktu Arab Saudi (WAS)