Israel, Sastra dan Siswa Kita (Sebuah Ekspresi Moral Akademis)


                                               
Dokumen : Koleksi Pribadi

Israel, Sastra dan Siswa Kita
(Sebuah Ekspresi Moral Akademis)

Oleh Mustajib

 

Beberapa waktu lalu, dunia dibanjiri berita-berita tentang penyerangan terhadap warga Palestina oleh (tentara) Israel. Sebagian besar warga dunia dibuat geram karena serangan-serangan Israel tidak lagi ke anggota-anggota pasukan yang dianggap musuh seperti Hammas. Melainkan, serangan brutal tersebut diarahkan dan membinasakan warga sipil dan bahkan bayi-bayi yang sangat tak berdosa. Karena itulah, (pemerintah, tentara, serangan) Israel dikecam tidak manusiawi lagi. Mendengar “kealpaan kemanusiaan” ini, otak naif (kekanak-kanaan) saya meluncurkan sebuah pertanyaan naif (juga): “Apakah (Orang-orang) Israel tidak baca sastra?”

Pertanyaan itu coba saya kirim (nge-chat) ke “ Oom(Paman)” GPT ( ChatGPT), berkali-kali, untuk memastikan validitas responnya. Pada Sabtu 2 Desember 2023 pukul 08.40 Waktu Arab Saudi (WAS), Oom ChatGPT akhirnya menjawab seperti ini, “Ya, banyak orang Israel memiliki minat dalam membaca sastra. Israel memiliki tradisi sastra yang kaya, dan karya-karya penulis seperti Amoz Oz, David Grossman, dan A.B. Yehoshua sangat diharga secara lokal dan internasional. Membaca sastra adalah kegiatan umum di kalangan warga Israel, mencakup karya-karya dalam bahasa Ibrani dan terjemahan karya-karya sastra dunia.”

Merasa belum puas karena belum mendapatkan gambaran konkret tentang “banyak orang Israel”, saya lanjut bertanya “Berapa persenkah warga Israel yang suka baca?”. Oom ChatGPT menukas, “Tidak ada statistik pasti tentang prosentase warga Israel yang menyukai membaca sastra. Minat terhadap sastra dapat bervariasi di antara individu dan kelompok masyarakat. Beberapa orang mungkin sangat tertarik, sementara yang lain mungkin kurang berminat. Selain itu, preferensi bacaan juga dapat berubah seiring perjalanan waktu.”

Sebelumnya (Kamis, 30/11/2023, pukul 19.51 WAS) saya sempat bertanya juga kepada Oom ChatGPT yang bernama lengkap Generative Pre-trained Transformer itu, “Karya sastra apa yang paling banyak dibaca orang-orang Israel?”. Karena keterbatasan wawasan saya, khususnya tentang Alkitab, saya agak kaget juga membaca jawabannya. Wallahu, teks yang muncul berbunyi seperti ini, “Alkitab merupakan salah satu karya sastra yang paling banyak dibaca dan dihargai di antara orang-orang Israel.”

Kenapa pertanyaan-pertanyaan itu saya ajukan? Pertama karena membayangkan kebrutalan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (yang sebagian orang menyebutnya sebagai ‘kebiadaban’) dan kedua karena hasrat saya (sekali lagi, yang naif atau kekanak-kanaan) untuk menelurusi secara tipis-tipis jejak karya-karya sastra di hati sanubari mereka – warga Israel -- yang menerjang jaring-jaring “humanity” (kemanusiaan). Lalu apa hubungannya antara warga Israel, (nilai-nilai) kemanusiaan dan sastra?

Sastrawan intelektual (Alm) Budi Darma (1984) berpendapat bahwa sastra, karya sastra, atau membaca sastra – dalam batas-batas tertentu, seperti halnya agama -- dapat membentuk “homo humanus”, yaitu manusia yang berjiwa “humanitat”. Terkait dengan hal ini, pengarang cerpen ‘Orang-orang Bloomington’ itu menegaskan, “Dengan cara yang berbeda, sastra … dan agama dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa “humanitat”, yaitu jiwa yang halus, manusiawi dan berbudaya.”

Dalam tulisannya yang berjudul “Sastra sebagai Agama Mikro” ( Bali Post, 12/2/1999 : 5), Kaloka Ardi mengonfirmasi bahwa dalam banyak agama terdapat bagian-bagian berupa ungkapan-ungkapan sastra yang indah dan mendalam. “Di kalangan umat Yahudi, Syirul Asyar (Kidung Agung) dan Mazemur terkenal sebagai bagian dari Al-Kitab Perjanjian Lama yang mengandung nilai sastra tinggi," tulis Kaloka Ardi (lihat, Mustajib : 2010)

Jika Orang-orang Yahudi (Israel) gemar membaca sastra dan Al-Kitab dan benar-benar meresapi nilai-nilainya, lalu kenapa sebegitu beringas menginjak-injak dan meluluhlantahkan nilai-nilai kemanusiaan terhadap orang-orang Palestina? Entahlah! Keterbatasan wawasan saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Saya tidak berani berspekulasi selain mengatakan, mungkin, ada faktor-faktor lain (seperti kebijakan politik) yang lebih powerful, lebih dahsyat, yang menjadi lokomotif utama pemicu pembombardiran nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Tulisan isi semata-mata letupan (ekspresi) moral-akademis pribadi saya.

Dan saya pribadi tidak punya kuasa dan kekuatan untuk menghentikan (jika berlanjut seiring perjalanan waktu) kebrutalan serangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Yang bisa dan mungkin daapt saya lakukan adalah berdoa kepada Allah azza wa jalla dan terus mendorong siwa-siswi saya, dimana pun saya bertugas, untuk terus membaca (karya-karya) sastra, selain menguatkan agama, guna mendampingi mereka tumbuh dan berkembang menjadi “homo humanus”.  Dengan ikhtiar-ikhtiar ini, sepertinya kita sepakat, anak-anak kita, siswa-siswi kita, tidak akan seberutal orang-orang atau bangsa yang diklaim brutal dan biadap itu di masa dewasanya kelak.

Dan tidak tertutup kemungkinan orang-orang Israel pun akan berubah menjadi orang-orang yang berjiwa dan mempraktikan jiwa yang halus, manusiawi dan berbudaya dalam kehidupan sehari-harinya seiring dengan perubahan waktu. Mudah-mudahan.

 

Riyadh, 2 Desember 2023

Diplomatic Quarter, Riyadh, Arab Saudi

Pukul 11.02 Waktu Arab Saudi (WAS)

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama