Dokumen : Guruinovatif.id
Guru Berhati Lintas Sekolah
Oleh
Mustajib
Sepertinya bukan semata-mata karena status saya
sebagai seorang guru sehingga, di moment peringatan hari guru nasional (HGN),
saya begitu “menaruh perhatian” kepada para guru, khususnya kepada salah
seorang “guru” sepesial saya. Hal itu sepertinya karena didorong naluri
keguruan saya juga.
Beberapa hari sebelum HGN 25 November 2025 lalu, saya
“cukup sibuk” melihat-lihat postingan di berbagai media massa dan media sosial
tentang cara orang-orang mengekpresikan rasa hormat dan penghargaan mereka
terhadap guru-gurunya. Di salah satu Whatsapp Group (WAG) yang saya ikuti, saya
menemukan satu postingan berbunyi “Hanya guru yang mengajar dengan hati, yang
masih ada di hati murid. Selamat Hari Guru 2023”.
Sebagai guru yang masih menjunjung tinggi adab dalam
mengutip suatu pernyataan atau sejenisnya, saya mohon izin kepada pemilik
postingan tersebut untuk mengutip dan memodifikasi ucapan tersebut. Setelah
diizinkan, saya memperemak ucapan menjadi “Selamat Hari Guru Nasional, 25
November 2023, Hanya Guru yang Mengajar dan Mendidik dengan Hati, yang Masih
Ada di Hati Murid’. Merasa bangga dengan hasil modifikasi ini, setelah
memberikan sedikit ilustrasi foto diri dan foto-foto orang tak bernama, saya
memosting ucapan modifikasi ini di istagram, facebook dan beberapa WAG.
Respon salah seorang mantan teman sekelas di WAG
Alumni kurang lebih berbunyi, “Selamat atas capainnya, semeton (‘saudara’).
Turut bangga dengan prestasinya”. Membaca respon ini, tiba-tiba saya ingat
seorang guru yang luar biasa, yang kebetulan orang tua dari salah seorang teman
sekelas yang kini juga menjadi anggota di WAG alumni. Lalu saya merespon
sebagai berikut.
“Salah seorang guru yang sangat berjasa dalam
keberlanjutan studi saya dan termasuk perjalanan karir saya adalah (Almarhum)
Haji Lalu Rahman Ansory. Alkisah, di tahun pelajaran 1983 – 1984, saya masuk
sekolah menengah pertama (SMP) negeri di desa saya. Setelah kurang lebih tiga
atau empat hari masuk SMP, tibalah saatnya diumumkan nominal pembayaran
sumbangan pemninaan pendidikan (SPP) dan harga seragam putih biru yang akan
dipakai dan dibeli. Pengumuman itu saya sampaikan ke orang tua. Karena tidak
mampu menjangkaunya, akhirnya orang tua saya memutuskan saya berhenti, alias
tidak jadi melanjutkan.
“Sejak keesokan harinya – dan beberapa hari kemudian –
saya mulai ikut orang tua ke sawah. Cerita tentang keputusan ini dan aktivitas
baru saya, secara berantai melalui dua orang teman, sampailah ke telinga Pak
Guru Haji Lalu Rahman – demikian sapaan akrabnya. Mendengar cerita tersebut,
Pak Guru Haji Lalu Rahman lalu bersurat ke (kepala) SMP yang saya masuki itu,
menerangkan bahwa saya adalah salah seorang anak binaan yayasan yatim piatu
yang dikelolanya. Secara kebetulan saya seorang piatu, yang ditinggal almarhumah
ibu sejak bocah cilik (bocil).
“Dengan surat keterangan yatim piatu itulah, saya
dibebaskan dari kewajiban membayar SPP dan membeli seragam dari sekolah. Saya
diperbolehkan membeli seragam di pasar umum sesuai dengan kemampuan keluarga
kami pada saat itu. Akhirnya saya lanjut bersekolah.”
Membayang dan merasakan semangat keguruan (Alm) Pak
Guru Haji Lalu Rahman, saya tiba-tiba teringat tulisan Ng. Tirto Adi MP yang
berjudul “Daurat Peningkatan Kualitas Pebelajaran (Tantangan Guru Profesional
di Era Disrupsi), yang terhimpun dalam buku Guru Pembelajar, Bukan Guru Biasa:
Membangun Kompetensi Guru Profesional Lintas Generasi yang Menginspirasi dan
Menggerakkan (Sahabat Pena Kita, 2020). Di dalamnya tertulis penggalan kalimat
“Guru juga tak hanya yang ada di kelas tapi bisa dari manapun….”.
Secara umum, saya memaknai penggalan kalimat dia atas
bahwa guru kita tidak terbatas pada guru-guru yang pernah mengajar atau
mendidik di sekolah formal, non-formal maupun informal tempat kita pernah
menimba ilmu. Melainkan, orang-orang di luar ranah tersebut di mana kita pernah
mendapatkan “nilai pendidikan” darinya.
Dalam konteks semangat keguruan (Alm) Pak Guru Lalu
Haji Rahman, saya memaknai penggalan kalimat di atas bahwa (Alm) Pak Guru Lalu
Haji Rahman termasuk “guru” saya sekalipun beliau bukanlah guru kelas atau guru
di sekolah tempat saya menimba ilmu sebelumnya (di sekolah dasar/SD). Dan bukan
juga guru yang akan mengajar dan mendidik saya di SMP yang akan saya masuki.
Demikian halnya, Pak Guru Haji Lalu Rahman pastinya tidak menganggap saya
sebagai muridnya.
Walau demikian, saya meyakini, karena semangat
mendidik dengan hati itulah yang membuatnya tergerak menyelamatkan pendidikan
seorang “perserta didik” seperti saya ini secara lintas sekolah. Sikap ini
sesujatinya pancaran ruh kompetensi sosialnya.
Yaa, semestinya seperti itulah seorang guru
profesional. Vibrasi semangat mendidik, menyelamatkan pendidikan, dan
kompetensi sosialnya yang penuh pacaran sinar hati nan tulus mampu menerobos
lintas batas, lintas sekolah atau satuan pendidikan.
Selamat Hari Guru Nasional wahai guru-guru berhati
mulia.
Diplomatic Quarter, Riyadh, Arab Saudi
Pukul 19.58 Waktu Arab Saudi (WAS)