"Bertuah"


"Bertuah"
Oleh
Mustajib
Dokumen : Ilustrasi dari arabsstock.com

 

JIKA bapak ibu guru menjadi orangtua para siswa di sekolah maka logikanya adalah kata-kata para guru kepada siswanya sama "bertuah-nya" dengan kata-kata orangtua kepada anak-anaknya di rumah. “Kutukannya” akan menciptakan petaka. Sebaliknya, doa-doanya akan berbuah kemujuran.

Konsekuensinya, hendaklah para guru tidak berkata-kata (berucap) buruk tentang dan/atau kepada siswa-siswinya. Sebab kata-kata atau ucapan-ucapan yang buruk akan berpengaruh buruk terhadap siswa, khususnya terhadap masa depan siswa-siswanya. Karenanya, seperti para orangtua di rumah, para guru diharapkan berkata-kata baik, atau mengucapkan hal-hal yang baik-baik kepada dan/atau tentang siswanya.

Terkadang, dalam nuansa-nuasna tertentu, memang agak sulit membedakan antara "doa" (mengatakan atau mengharapkan sesuatu yang) baik dengan kata-kata mengejek (mem-bully). Kadang-kadang setelah sekian lama, baru mungkin sesuatu itu terasa sebagai doa atau pun bullying (ejekan). Tapi, itu pun sebatas "meraba-raba" atau menduga-duga. Itulah yang saya rasakan atau saya duga terkait dengan kasus diri pribadi saya.

Ceritanya seperti ini,  ketika masih bersekolah di jenjang sekolah pertama (SMP) pada pertengahan tahun 1980-an lalu, salah seorang guru saya (Raden Parna Kusuma) selalu memanggil saya "Gamal Abdul Nasser" semenjak semester dua. Di penghujung semester satu (1) saya terserang tipes. Parah sekali : hampir-hampir merenggut nyawa saya. Karena parahnya, secara akademis saya akhirnya tidak bisa mengikuti ulangan semester satu. Secara fisik, setelah sembuh, rambut saya terlihat semakin kriting. Karena rambut kriting inilahawal guru tersebut selalu memanggil saya dengan sapaan “Gamal Abdul Nasser”.

Saat itu, yang saya tahu tentang Gamal Abdul Nasser adalah pemimpin negara (presiden) Mesir. Baru saat membuat tulisan ini saya tahu kalau beliau adalah seorang tokoh yang sederhana, yang gagasannya tentang PanARab membuatnya tidak hanya berpengaruh bagi Mesir tetapi juga bagi seluruh Arab. Baru sekarang juga saya tahu kalau beliau memimpin Mesir selama delapan (8) tahun (1952 – 1970) dan pernah menjadi pemimpin Non-Blok yang membuat hubungan Mesir dengan Barat memburuk.

Baru sekarang juga, tepatnya pada Ahad, 30 Juni 2024, sore hari, saya tiba-tiba menyadari, dan selanjutnya menduga-duga atau meraba-raba apakah kesempatan menjadi “pemimpin” sekolah Indonesia yang berada di salah satu negara Arab, tepatnya di Riyadh, Arab Saudi, merupakan bias atau buah dari seringnya saya dipanggil “Gamal Abdul Nasser” oleh Pak Parna – demikian sapaan akrabnya – dulu. Jika “ya’, panggilan itu berarti bukan bullying, melainkan mungkin ada terbersit harapan baik (doa) di benak Pak Parna.

Saya lebih meyakini bahwa kesengajaan beliau memanggil saya dengan sebutan “Gamal Abdul Nasser” bukan untuk mem-bully atau mengejek. Melainkan, dengan berbuat seperti itu, belaiu berharap saya bisa menjadi orang baik. Tapi what really happened --apa yang sesungguhny terjadi -- di batinnya, wallahu’alam. Hanya beliau dan Allah yaa Alim yang tahu secara pasti.

Keyakinan saya bahwa itu bagian dari doa baiknya terlihat melalui sikapnya terhadap saya. Saya tidak pernah dibencinya selama saya menjadi murid beliau – mungkin karena saya bisa “mengikuti” pelajaran beliau dengan baik. Setelah tamat SMP dan bersekolah  di jenjang sekolah menengah atas (SMA), beliau tetap baik, paling tidak, pada kesempatan tersebut saya tidak lagi dipanggil “Gamal Abdul Nasser”.  Saya pun bersikap baik, respect, dan bahkan lebih memilih mobil colt tuanya untuk bolak balik dari rumah (di Desa Darek) ke sekolah (di Praya) yang berjarak kurang lebih 10 kilometer selama bulan puasa Ramadhan.

Sebagai mantan guru bahasa Inggris, beliau pun terlihat senang setelah tahu saya bisa kuliah mengambil jurusan bahasa Inggris. Rasa senang dan mungkin bangganya kian terlihat berpendar-pendari (sebagaimana yang saya tangkap melalui senyumnya) saat saya menyalami dan mencium tangannya -- walau saya sudah dewasa dan berstatus sebagai guru bahasa Inggris.

Kini, saya semakin meyakini bahwa kesempatan saya untuk “memimpin” (secara kecil-kecilan) salah satu sekolah Indonesia di salah satu Negara Timur Tengah adalah bagian dari “tuah” (hikmah, berkah) kata-kata baiknya (doa) yang selalau memanggil saya “Gamal Abdul Nasser” semasa menjadi siswanya.

Semoga engkau tenang di alam sana, Pak Guru, dan selalu mendapat aliran pahala atas segala kebaikan yang dilakukan oleh para mantan siswa-siswamu, duhai Pak Guru yang baik hati. Barakallah. Alfatehah.


Riyadh, 1 Juli 2024


 

Riyadh, 1 Juli 2024

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

2 Komentar

  1. Balasan
    1. Mantur sembah nuwun, Bu Mien. Semoga ttp sehat dan sukses selalu. Aamiin

      Hapus
Lebih baru Lebih lama