JIKA bapak ibu guru menjadi orangtua para siswa
di sekolah maka logikanya adalah kata-kata para guru kepada siswanya sama
"bertuah-nya" dengan kata-kata orangtua kepada anak-anaknya di rumah.
“Kutukannya” akan menciptakan petaka. Sebaliknya, doa-doanya akan berbuah
kemujuran.
Konsekuensinya, hendaklah para guru tidak berkata-kata (berucap)
buruk tentang dan/atau kepada siswa-siswinya. Sebab kata-kata atau ucapan-ucapan yang
buruk akan berpengaruh buruk terhadap siswa, khususnya terhadap masa depan
siswa-siswanya. Karenanya, seperti para orangtua di rumah, para guru diharapkan
berkata-kata baik, atau mengucapkan hal-hal yang baik-baik kepada dan/atau
tentang siswanya.
Terkadang, dalam nuansa-nuasna tertentu, memang agak
sulit membedakan antara "doa" (mengatakan atau mengharapkan sesuatu yang)
baik dengan kata-kata mengejek (mem-bully). Kadang-kadang setelah sekian
lama, baru mungkin sesuatu itu terasa sebagai doa atau pun bullying
(ejekan). Tapi, itu pun sebatas "meraba-raba" atau menduga-duga. Itulah
yang saya rasakan atau saya duga terkait dengan kasus diri pribadi saya.
Ceritanya seperti ini, ketika masih bersekolah di jenjang sekolah
pertama (SMP) pada pertengahan tahun 1980-an lalu, salah seorang guru saya (Raden
Parna Kusuma) selalu memanggil saya "Gamal Abdul Nasser" semenjak
semester dua. Di penghujung semester satu (1) saya terserang tipes. Parah
sekali : hampir-hampir merenggut nyawa saya. Karena parahnya, secara akademis saya
akhirnya tidak bisa mengikuti ulangan semester satu. Secara fisik, setelah
sembuh, rambut saya terlihat semakin kriting. Karena rambut kriting inilahawal guru tersebut
selalu memanggil saya dengan sapaan “Gamal Abdul Nasser”.
Saat itu, yang saya tahu tentang Gamal Abdul Nasser adalah
pemimpin negara (presiden) Mesir. Baru saat membuat tulisan ini saya tahu kalau
beliau adalah seorang tokoh yang sederhana, yang gagasannya tentang PanARab
membuatnya tidak hanya berpengaruh bagi Mesir tetapi juga bagi seluruh Arab.
Baru sekarang juga saya tahu kalau beliau memimpin Mesir selama delapan (8)
tahun (1952 – 1970) dan pernah menjadi pemimpin Non-Blok yang membuat hubungan
Mesir dengan Barat memburuk.
Baru sekarang juga, tepatnya pada Ahad, 30 Juni 2024,
sore hari, saya tiba-tiba menyadari, dan selanjutnya menduga-duga atau meraba-raba
apakah kesempatan menjadi “pemimpin” sekolah Indonesia yang berada di salah
satu negara Arab, tepatnya di Riyadh, Arab Saudi, merupakan bias atau buah dari
seringnya saya dipanggil “Gamal Abdul Nasser” oleh Pak Parna – demikian sapaan
akrabnya – dulu. Jika “ya’, panggilan itu berarti bukan bullying,
melainkan mungkin ada terbersit harapan baik (doa) di benak Pak Parna.
Saya lebih meyakini bahwa kesengajaan beliau memanggil
saya dengan sebutan “Gamal Abdul Nasser” bukan untuk mem-bully atau mengejek.
Melainkan, dengan berbuat seperti itu, belaiu berharap saya bisa menjadi orang
baik. Tapi what really happened --apa yang sesungguhny terjadi -- di
batinnya, wallahu’alam. Hanya beliau dan Allah yaa Alim yang tahu
secara pasti.
Keyakinan saya bahwa itu bagian dari doa baiknya terlihat
melalui sikapnya terhadap saya. Saya tidak pernah dibencinya selama saya
menjadi murid beliau – mungkin karena saya bisa “mengikuti” pelajaran beliau
dengan baik. Setelah tamat SMP dan bersekolah di jenjang sekolah menengah atas (SMA), beliau
tetap baik, paling tidak, pada kesempatan tersebut saya tidak lagi dipanggil “Gamal Abdul Nasser”. Saya pun bersikap baik, respect, dan
bahkan lebih memilih mobil colt tuanya untuk bolak balik dari rumah (di Desa
Darek) ke sekolah (di Praya) yang berjarak kurang lebih 10 kilometer selama bulan puasa Ramadhan.
Sebagai mantan guru bahasa Inggris, beliau pun terlihat
senang setelah tahu saya bisa kuliah mengambil jurusan bahasa Inggris. Rasa
senang dan mungkin bangganya kian terlihat berpendar-pendari (sebagaimana yang saya
tangkap melalui senyumnya) saat saya menyalami dan mencium tangannya -- walau
saya sudah dewasa dan berstatus sebagai guru bahasa Inggris.
Kini, saya semakin meyakini bahwa kesempatan saya untuk “memimpin”
(secara kecil-kecilan) salah satu sekolah Indonesia di salah satu Negara Timur
Tengah adalah bagian dari “tuah” (hikmah, berkah) kata-kata baiknya (doa) yang
selalau memanggil saya “Gamal Abdul Nasser” semasa menjadi siswanya.
Semoga engkau tenang di alam sana, Pak Guru, dan selalu mendapat aliran pahala atas segala kebaikan yang dilakukan oleh para mantan siswa-siswamu, duhai Pak Guru yang baik hati. Barakallah. Alfatehah.
Riyadh, 1 Juli 2024
Riyadh, 1 Juli 2024
Mantap Pak..luar biasa....
BalasHapusMantur sembah nuwun, Bu Mien. Semoga ttp sehat dan sukses selalu. Aamiin
Hapus