Pembudayaan Scribo Ergo Sum di Sekolah Indonesia Riyadh



Pembudayaan Scribo Ergo Sum
di Sekolah Indonesia Riyadh
Oleh
Mustajib

SEPERTINYA ada hal yang perlu “segera diseriusi” oleh insan-insan pendidikan di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) untuk siswa-siswinya yang dididik dengan visiTerwujudnya Insan yang Relijius, Unggul, Adaptif, Peduli dan Berkebhinekaan Global”. Hal serius yang dimaksud adalah menumbuhkan dan/atau mengembalikan geliat kebiasaan atau kebutuhan membaca di kalangan para siswanya.

Sebagaimana terpantau oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum Hijrah Baihaqie, dan terverifikasi oleh Kepala Perpustakaan Suryanto 4 Juni 2024 lalu, minat baca siswa-siswi SIR secara umum belum terlalu menggembirakan. Indikatornya antara lain perpustakaan fisik dan digitalnya belum termanfaat secara maksimal. Kunjungan yang disertai peminjaman buku oleh siswa belum maksimal, untuk tidak mengatakan sangat “sepi pengunjung dan peminjam”.

Timbulnya berita tersebut langsung membersitkan kekhawatiran kita selama ini atas perkembangan minat baca kaum pelajar kita secara umum yang terkesan seolah-olah jalan di tempat. Selain itu, berita tersebut menghalangi semburat cahaya keemasan fajar optimisme bahwa kaum pelajar kita, terutama di sekolah Riyadh, semestinya telah membuat serta mengukuhkan langkah-langkah positif untuk lebih mengakrabi dan mendayamanfaatkan era globalisasi yang antara lain ditandai pesatnya pekembangan informasi (“Era Informsi”). Rasanya, tanpa banyak membaca, memang sulitlah bagi kita, khususnya bagi para pelajar calon pemimpin masa depan, untuk dapat mengakrabi dan memaknai era informasi ini secara maksimal.

Yang menjadi persoalan kemudian sesujatinya adalah, setelah terbentuknya kebiasaan membaca (nantinya) dalam rangka mengakrabi atau melakoni era informasi dan era kesejagatan (globalisasi) ini, cukupkah kaum pelajar hanya bermodal atau berbekal kebiasaan membaca saja? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada tulisan seorang sastrawan kawakan Indonesia, (Alm.) Subagio Sastrowardoyo, berjudul “Kapan pada Kita Berlaku Scribo Ergo Sum” (lihat kumpulan tulisannya dalam buku Sekilas Soal Sastra dan Budaya, Balai Pustaka, 1982 : 1 – 4).

Dalam tulisannya itu, alumnus Departement of Comparative Literature Universitas Yale Amerika Serikat (AS) itu coba memotret salah satu kebiasaan positif masyarakat negara-negara maju yang jarang dijumpai di negara-negara berkembang termasuk negara kita tercinta, Indonesia.

Disebutkan bahwa di kota–kota besar seperti New York, Paris dan Tokyo kita akan menemukan suatu gejala umum bahwa orang-orang di manapun mereka berada tetap tekun membaca. Dan yang mereka baca tidak hanya terbatas pada bacaan-bacaan yang bersifat popular atau hiburan seperti komik, koran, majalah, dan sejenisnya, melainkan juga bacaan-bacaan serius semisal buku-buku ilmu pengetahuan, kesusastraan dan lain sebagainya. Menurut Subagio, dengan mengutip pernyataan Edward Said, bagi mereka yang ada hanya “text”, hanya bacaan.

Sebagai titik balik dari kebiasaan membaca itu, mereka pun gemar menulis -- “suatu kebiasaan yang masih sangat perlu ditumbuhkembangkan di kalangan pelajar Indonesia, tidak terkecuali di SIR. Indikator keranjingan menulis di kalangan masyarakat berpikiran maju tersebut, lanjut Subagio, adalah melimpahruahnya publikasi buku. Semangat mereka dalam menulis, baik secara langsung maupun tidak langsung, kian dipompa oleh pernyataan Jonathan Culler. Penulis buku Structural Poetics ini berkata, “Ia yang tidak menulis – dia yang tidak secara aktif berkarsa dan bekerja pada sistem ini akan ditulis oleh sistem itu sendiri. Ia menjadi buah produk dari kebudayaan yang tidak dikuasainya itu.”

Ditegaskan pula, kebutuhan atas kebiasaan menulis tidak hanya bermanfaat dari segi proses pendidikan, melainkan juga dari segi pernyataan eksistensi (keberadaan) diri si penulis itu sendiri. Dalam kaitannya dengan dimensi pendidikan, Robert Scholes berpendapat bahwa proses penafsiran lewat membaca tidaklah sempurna (paripurna) sebelum seseorang (dalam konteks tulisan ini, si siswa atau pelajar) menghasilkan karangan penafsirannya sendiri.

Sementara dalam kaitannya dengan pernyataan mengenai eksistensi diri seseorang, dengan menulis berarti ia telah menunjukkan bahwa ia pernah ada di dunia ini. Scholes berkata, “dia (‘seseorang’) adalah pemerhati manusia bukan karena berpikir, tidak juga karena membaca, melainkan karena dia menulis – karena akhirnya dia menghasilkan karangan atau tulisan.”

Dengan “mempermainkan” sedemikian rupa akses filsafat Descartes yang berbunyi, “Cogito ergo sum (aku berpikir karena itu aku ada),” Scholes sampai pada kesimpulan “Scribo Ergo sum” yang berarti ‘Aku menghasilkan tulisan, karena itu aku ada’. Sampai batas tertentu, dengan merujuk pada Scribo Ergo sum Subagio memaknai “akulah tulisan yang kuhasilkan, aku adalah tulisan itu sendiri.” Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, dapatlah dikatakan bahwa tulisan adalah wakil dari si penulis.

Dalam rangka menumbuhsuburkan “reading community” (masyarakat yang gemar membaca sebagai perwujudan asas Cogito ergo sum serta membudayakan prinsip Scribo Ergo sum di kalangan pelajar SIR guna menyempurnakan kesiapsiagaan mereka berkiprah secara paripurna di era informasi dan globalisasi pada umumnya dan periode Indonesia Emas 2045 pada khususnya maka para guru, pendidik dan/atau pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya perlu secara terus menerus mendorong, memotivasi, melatih dan memberdayakan para siswa dalam membudayakan kebiasaan menulis antara lain dengan memanfaatkan berbagai media yang tersedia, cetak maupun non-cetak. Untuk non-cetak, para siswa bisa dan perlu didorong untuk memiliki blog pribadi dan meperkayanya dengan berbagai tulisan karya ciptanya.

Secara khusus, mungkin sudah waktunya para pemangku kepentingan menyediakan atau  memberi perhatian lebih untuk mengadakan, mewujudkan dan/atau mengintensifkan suatu penerbitan berkala versi cetak yang khusus dihajatkan sebagai media baca dan menulis bagi golongan pelajar agar makin terpelajar menuju generasi emas yang maju, relijius, unggul (akademis maupun non-akademisnya), peduli dan berkebhinekaan global.

Penerbitan dapat berupa tabloid maupun majalah berkala (Dwimingguan, Bulanan, kuartalan, per semester atau tahunan), yang bijaknya diawali di level satuan pendidikan. Penerbitan majalah triwulan atau per semester (mungkin) sudah diinisiasi, diprogramkan dan/atau dijalankan selama ini. Namun bentuknya digital. Karena keterbatasan perangkat untuk mengakses dan daya tahan mata untuk menatap layar (computer, laptop, tab atau handphone sebagai media untuk mengakses) maka keberadaannya kurang “terbaca” secara maksimal.

Di lingkup Atase Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Atdikbudristek) KBRI Riyadh yang memayungi tiga (3) Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) Saudi – SI Jeddah/SIJ, SI Riyadh/SIR, dan SI Makkah/SIM), ada baiknya kembali menghidupkan dan/atau merevitalisasi  Majalah “Pena” (cetak) yang dulu pernah eksis (terbit) dengan memberi porsi yang lebih banyak untuk tulisan para siswa. Atau, mungkin ada penerbitan khusus untuk seluruh pelajar SILN Sudi. Prinsipnya, makin banyak penerbitan dan makin intensif frekuensi terbitannya maka akan semakin baik.

Jika penerbitan tersebut dapat diwujudkan secara optimal dengan frekuensi penerbitan semaksimal mungkin, ikhtiar pembudayaan literasi baca pada umumnya dan pendarahdagingan Scribo Ergo Sum di kalangan pelajar pada khususnya akan makin tampak nyata (keseriusannya). Muaranya, periode Indonesia Emas 2045 sepertinya tidak mencemaskan. Semoga. Aamiin.

 

Riyadh, 13 Juni 2024

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama